Miskin Tidak Harus Mengemis

Ini adalah sepenggal kisah (kisah nyata dari Ciracas Serang Banten) yang diceritakan oleh Ibu Ernydar Irfan, Semoga menginspirasi.

Miskin Tidak Harus Mengemis

Hari ini sesosok wanita tua mengetuk pintu kaca toko saya:

"Bu... beli kue saya... belum laku satupun... kalau saya sudah ada yang laku, saya enggak berani ketuk kaca toko Ibu... "

Saya persilakan dia masuk dan duduk. Segelas air dan beberapa butir kurma saya sajikan untuknya.

"Ibu bawa kue apa?" tanya saya.

"Gemblong, getuk, bintul, gembleng Bu", jawabnya.

Saya tersenyum dan berkata: "Saya nanti beli kue ibu... tapi Ibu duduk dulu, minum dulu, istirahat dulu".

"Muka Ibu sudah pucat".

Dia mengangguk dan melanjutkan bicara:

"Kepala saya sakit Bu.. pusing, tapi harus cari uang. Anak saya sakit,

suami saya sakit, di rumah hari ini beras udah gak ada sama sekali. Makanya saya paksa jualan", katanya sambil memegang keningnya.

Air matanya mulai jatuh.

Saya cuma bisa memberinya sehelai tisu dan dia melanjutkan bicara: "Sekarang makan makin susah, Bu. Kemarin saja beras gak kebeli, apalagi sekarang. Katanya bensin naik. Apa-apa serba naik. Saya udah 3 bulan saya cuma bisa bikin bubur. Kalau masak nasi gak cukup. Hari ini jualan belum laku, nawarin orang katanya gak jajan dulu. Apa-apa pada mahal. Katanya uang belanjanya pada enggak cukup".

"Anak ibu sakit apa?" saya bertanya.

"Nggak tau ibu, batuknya berdarah", saya terpana.

"Ibu.. Ibu harus bawa anak Ibu ke puskesmas, kan ada BPJS?"

Dia cuma tertunduk, lalu melanjutkan bicara:

"Saya bawa anak saya pakai apa Bu? gendong gak kuat, jalannya jauh,

naik ojek gak punya uang".

"Ini kue Ibu bikin sendiri?" tanya saya.

"Enggak Bu, ini saya ngambil ke orang", jawabnya.

"Terus Ibu penghasilannya dari sini saja?" dia mengangguk lemah.

"Berapa Ibu dapet setiap hari?"

"Nggak pasti Bu, ini kue untungnya 100-300 perak, bisa dapet 4 ribu - 12 ribu paling banyak." jawabnya.

Kali ini air mata saya yang mulai mengalir.

"Ibu pulang jam berapa jualan?"

"Jam 2. Saya gak bisa lama-lama Bu, soalnya uangnya buat beli beras.

Suami sama anak saya belum makan. Saya gak mau minta-minta, saya gak mau nyusahin orang."

Lalu kata saya: "Ibu, kue-kue ini tolong Ibu bagi-bagi di jalan. Ini buat beli beras buat 1 bulan, ini buat 10x bulak-balik naik ojek bawa anak Ibu berobat. Ini buat modal Ibu jualan sendiri. Ibu sekarang pulang saja. Bawa kurma ini buat pengganjal lapar".

Ibu itu menangis. Dia pindah dari kursi ke lantai, dia bersujud. Tak sepatah katapun keluar, lalu dia kembalikan uang saya.

"Kalau Ibu mau beli. Belilah kue saya. Tapi selebihnya enggak bu. Saya malu."

Saya pegang erat tangannya.

"Ibu... ini bukan buat Ibu. Tapi buat Ibu saya. Saya melakukan bakti ini untuk Ibu saya, agar dia merasa tidak sia-sia membesarkan dan mendidik saya. Tolong diterima".

Saya bawa keranjang jualannya. Saat itu saya memegang lengannya dan saya menyadari dia demam tinggi.

"Ibu pulang ya..."

Dia cuma bercucuran airmata lalu memeluk saya dan berkata,

"Bu.. Saya gak mau ke sini lagi. Saya malu. Ibu gak doyan kue jualan saya. Ibu cuma kasihan sama saya... saya malu....".

Saya cuma bisa tersenyum dan berkata,

"Ibu... Saya doyan kue jualan ibu, tapi saya sedang kenyang.

Sementara di luar pasti banyak yang lapar dan belum tentu punya makanan. Sekarang Ibu pulang yaa..."

Saya bimbing dia menyeberang jalan, lalu saya naikkan angkot. Dia terus berurai air mata...

Sumber : Ustadz Muhammad Wujud

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS