Idul Fitri; Hari Kemenangan

Hari Raya Idul Fitri populer dikenal sebagai “Hari Kemenangan”. Kalau itu dianggap sebagai “Hari Kemenangan“ maka kemenangan tersebut bukanlah kemenangan akhir. Ia – bagi yang benar-benar meraih kemenangan -baru menang dalam satu pertempuran - belum lagi kemenangan dalam peperangan. Peperangan melawan nafsu dan setan tidak berhenti dengan hadirnya Idul Fitri tetapi berlanjut selama hayat dikandung badan, karena nafsu dan setan menyertai manusia selama hidupnya dan setan telah bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan manusia – dari arah kiri dan kanan- atas dan bawah – menyesatkannya sampai dengan detik terakhir dari hayat manusia (Q.S. Al-Araf [7]: 17).

Kemenangan melawan setan dan nafsu ditandai oleh tertawan dan terkendalinya syahwat dan teratasinya rayuan setan yang mengantar pemenang patuh mengikuti perintah agama, akal dan budaya. Bukan sebaliknya, karena jika sebaliknya, maka itulah kekalahan bahkan perbudakan manusia oleh setan dan nafsu.

Di sisi lain harus disadari bahwa kemenangan bermacam-macam. Ada yang hanya menghasilkan kelezatan jasmani; makan, minum dan seks. Jelas bukan itu yang dikehendaki oleh kemenangan setelah bepuasa walau memang dengan Idul Fitri kita telah memperoleh kebebasan dalam batas-batas tertentu untuk makan, minum dan seks.

Kemenangan hakiki adalah yang mengantar kepada diraihnya nilai-nilai spiritual, yang tidak bisa dipisahkan dari fithrah dalam arti kesucian – yang mencakup tiga unsur pokok yaitu: Keindahan, Kebenaran, dan Kebaikan. Upaya mencari yang benar menghasilkan ilmu, melakukan yang baik membuahkan budi dan mengekspresikan keindahan melahirkan seni. Karena itu pula peperangan yang perlu kita menangkan adalah peperangan melawan aneka keburukan seperti kebodohan, kemiskinan, penyakit dan kezaliman.

Kemenangan hakiki menghasilkan pencerahan akal dan jiwa sekaligus penyerahan diri -raga, rasa, dan pikir- kepada Allah swt. Kemenangan hakiki menghasilkan pengakuan atas kebenaran walau pengakuan itu tidak sejalan dengan keinginan nafsu atau dorongan setan. Itu sebabnya yang kalah dinilai sebagai pemenang jika ia mengakui secara ksatria kekalahannya, karena ketika itu ia berhasil mengalahkan nafsu dan syahwatnya yang berkolusi dengan setan.

Sebaliknya, yang menang dinilai kalah jika itu diperolehnya melalui proses yang terlepas dari nilai-nilai etik dan spiritual karena ketika itu ia dikuasi oleh nafsu dan setan. Itu juga sebabnya kemenangan hakiki tidak selalu harus dikaitkan dengan hasil dan karena itu pula kegagalan dapat menjadi kemenangan yang tertunda, ini jika yang kalah dapat mengambil pelajaran dari kegagalannya.

Di sisi lain, kemenangan hakiki tidak dapat diperoleh tanpa bantuan Allah, baik kemenangan menghadapi nafsu dan setan, maupun kemenangan di bidang politik, militer atau aktivitas apapun. Allah menegaskan bahwa, Kemenangan tidak bersumber kecuali dari sisi Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. Ali Imran [3]: 126), bahkan Allah menegaskan bahwa: Bukan engkau – Wahai Nabi Muhammad – yang membunuh mereka, tetapi Allah yang membunuh mereka, bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar tetapi Allah Yang melempar… (Q.S. Al-Anfal [8]: 17).

Dalam suasana menjelang Idul Fitri, yang dikenal dengan nama “Hari Kemenangan” itu, pemenang dalam Pilpres 2014 diumumkan dan dirayakan kemenangannya. Tetapi, harus diingat bahwa pemenang tidaklah dinilai menang kalau kemenangannya hanya dinikmati oleh pendukungnya saja. Kemenangannya harus dinikmati oleh seluruh bangsa bahkan harus berdampak kepada lingkungan seluas mungkin.

Akhirnya, Taqabbala Allahu Minna Wa Minkum Minal Aidin Wa Al-Faizin. Semoga Allah menerima ibadah dan doa kita dan semoga kita kembali ke Fithrah Kesucian dan meraih kemenangan abadi dengan hidup damai di dunia dan diakhirat. Maaf lahir dan batin. [M. Quraish Shihab]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS