MUTIARA DI DASAR LAUT

Oleh: Prof. Mulyadhi Kartanegara
JALAL AL-DIN RUMI pernah mengumpamakan makrifat dengan mutiara yang masih berada dalam kerang, sedangkan kerang itu masih di dasar laut. "Karena mutiara selalu memikat hati orang, maka banyaklah orang yang datang ke laut untuk mendapatkannya. Setelah melihat dengan teliti, seseorang di antara pengunjung bertanya: 'Mana mutiara itu? Aku tidak melihatnya, padahal orang-orang mengatakan bahwa mutiara itu di laut.' Tentu saja mutiara tidak bisa dilihat apalagi dimiliki hanya dengan melihat laut, karena mutiara itu berada di dasar laut. Ini berarti bahwa makrifat tidak bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan "indera lahiriah," karena ia berada jauh di lubuk hati seseorang, sehingga tersembunyi kepadanya.


Lalu datanglah seseorang dengan sebuah usul yang brilian, "karena kerang itu ada di dasar laut, maka kita harus menimba laut agar kering, sehingga mutiara-mutiaravtersebut dapat dengan mudah kita temukan." Tapi, kata Rumi, laut yang begitu besar tidak mungkin kering dengan ditimba oleh manusia, karena untuk itu, ia harus, selain menimba, juga menggali tanah seluas laut agar air laut tidak kembali ke asalnya. Padahal laut meliputi 71 % dari permukaan bumi. Ini mengisyaratkan bahwa makrifat tidak bisa digali dan dan ditimba dengan akal dan nalar diskursif-rasional. Makrifat akan terlalu dalam bersembunyi di dasar laut diri seseorang untuk dapat ditangkap dan diungkap oleh akal maupun indera, dan metode-metode lainnya yang serupa dengan itu. 

Rumi kemudian memberi tahu kita bahwa untuk mendapatkan mutiara itu kita perlu seorang penyelam, kecuali kalau kita semdiri memang sudah menjadi penyelam. Ini berarti bahwa cara memperoleh makrifat berbeda dengan cara memperoleh ilmu, karena memang dibutuhkan cara tersendiri untuk menyelami lubuk atau dasar hati kita yang dalam. Karena itu, kecuali kita telah menguasai cara penyelaman itu, maka kita membutuhkan seorang penyelam, yang dalam hal ini adalah guru atau mursyid, untuk mendapatkan atau mengetahui cara mendapatkan makrifat. 

Tapi karena laut begitu dalam dan tidak seperti kolam biasa, maka di sini diperlukan penyelam mahir yang betul-betul menguasai teknik dan punya kemampuan untuk mengajarkannya kepada yang dibimbingnya. Singkatnya, kita membutuhkan seorang mursyid yang ulung yang telah terbukti mampu menyelami lubuk jiwa manusia. Mungkin banyak mursyid yang menawarkan diri, tapi kata Rumi tidak banyak mursyid yang sejati. Oleh karena itu dibutuhkan kecermatan dalam memilih mursyid agar tercapai apa yang dituju: mendapatkan mutiara. Cara menyelam inilah yang kita sebut dengan metode intuitif, yang memang, seperti tersebut di atas, berbeda dari metode diskursif dan empiris. 

Selain penyelam yang ulung, kita juga, kata Rumi, juga memerlukan keberuntungan, karena seperti kita ketahui bersama, tidak semua kerang mengandung mutiara yang didamba. Kita memerlukan mursyid yang ulung dan juga beruntung untuk mendapatkan kerang yang berisi mutiara di antara kerang-kerang yang ada di dasar laut dan yang mungkin diraih oleh seorang penyelam ulung. Ini berarti bahwa, seperti telah disinggung sebelumnya, untuk memperoleh makrifat tidak semata tergantung pada usaha keras manusia semata, tetapi juga pada kehendak dan kemurahan (barakah) dari Tuhan. 

Indera dan akal akan bisa mengantar kita ke gerbang istana, tetapi tidak bisa memaksakan dirinya untuk bisa masuk dan diterima sang raja. Bisa atau tidaknya kita masuk ke istana, kata Rumi, itu tergantung semata-mata pada kemurahan Tuhan, sang raja diraja. Ia juga pernah berkata, "jangan, jangan berhenti apalagi tidur di jalan. Kalian harus berjalan atau berlari hingga sebuah pohon raksana yang sarat dengan buah yang segar dan menyehatkan, untuk bernaung di bawahnya.. Dan menanti angin untuk berhembus sehingga bolehlah kiranya angin tersebut menjatuhkan buah-buah yang ranum sebagai bekal perjalanan kalian. Ini berarti kita wajib berusaha, sebagai syarat awal bagi tercapainya makrifat, baru setelah itu kita hanya bisa menunggu sambil berharap perkenan Allah untuk menganugerahkan "buah" mutiara itu ke tangan kita. Indera dan akal adalah tangga utama untuk mencapai atap rumah, dan hanya kepada mereka yang telah mencapai atap rumah tersebut, maka buah tersebut akan diberikan Allah, sebagai hadiah, kalau Ia memang berkenan.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS