INDERA, AKAL DAN HATI

Oleh: Prof. Mulyadhi Kartanegara
Salah satu kerinduan manusia adalah untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, agar diperoleh suatu pengetahuan yang meyakinkan. Salah satu contoh historis dari pencarian serius dan tak kunjung padam adalah apa yang dilakukan al-Ghazali. Dalam bukunya yang terkenal "Keluar dari Kemelut" (al-Minqidz minal-Dhalal), ia melukiskan pencariannya yang intensif akan kebenaran. Dan dalam karya ini jugalah ia mendiskusikan tentang indera, akal dan hati. 

Dalam karya otobiografis intelektual ini, ia mengungkapkan keinginannya untuk mengetahui segala sesuatu, termasuk kepercayaan agama, seyakin-yakinnya, sebagaimana keyakinannya kepada kebenaran matematik: tiga lebih kecil dari sepuluh. Kalau ada orang yang mengatakan sebaliknya, bahwa 10 lebih kecIl dari 3, kepercayaan saya bahwa 3 lebih kecil sari 10, tetap tidak akan goyah, sekalipun orang itu dapat mengobah tongkat jadi ular.

Oleh karena itu, maka ia mencoba mencari sumber pengetahuan yang meyakinkan. Untuk memulainya, ia coba indera. Ada fase dslam hidupnya ketika al-Ghazali memandang pengetahuan inderawilah yang paling meyakinkan. Betapa saya akan ragu terhadap keberadaan pena yang saya gunakan untuk menulis coretan ini? Tetapi ketika memperhatikan bayang-bayang rumahnya, ia menyadari betapa indera telah menipunya, karena, walaupun mata kita tidak bisa mendeteksi dan melacak pergeseran bayang-bayang (karena lambatnya), namun kenyataannya pada waktu sore hari bayangan tersebut telah berpindah ke tempat yang berlawanan. Demikian juga ketika kita mengamati bintang di langit, di hadapan kita bintang-bintang itu begitu kecil, padahal menurut penelitian astronomis, banyak bintang yang jauh lebih besar daripada matahari. Dengan begitu, maka al-Ghazali menyadari betapa indera ini tidak betul-betul merepresentasikan objeknya dengan setia. Dengan kata lain, indera telah mengkhianati kita, dan karena itu tidak dapat dipercaya sepenuhnya. Kepada mereka yang pernah membohongi kita, bagaimana kita bisa percaya sepenuhnya?

Setelah ia tidak menaruh kepercayaan lagi pada indera, al-Ghazali ingin mencoba akal. Dalam bukunya Misykat al-Anwar, al-Ghazali mengatakan bahwa akal lebih patut disebut cahaya, daripada indera, sebab akal lebih lengkap menjelaskan keadaan sebuah objek dibanding dengan indera. Misalnya, indera kita, katakanlah mata, tidak pernah bisa melihat bulan secara utuh. Setiap kali kita melihat bulan, hanya separuh permukaannya yang dapat kita lihat. Tetapi akal kita bisa " melihat" bulan secara utuh sebgai sebuah bola (sferik). Jadi, keterangannya lebih lengkap daripada indera. Demikian juga bintang dapat diketahui memiliki ukuran yang kadang lebih besar dari matahari oleh akal, bukan indera. Kebenaran-kebenaran matematik pun dapat dirumuskan oleh akal, bukan oleh indera. Kebenaran-kebenaran tersebut bersifat abstrak, sehingga tidak dapat dcerap oleh indera.

Tetapi setelah agak lama ditenangkan oleh penemuan ini, al-Ghazali masih ragu apakah akal manusia betul-betul mampu meraih kebenaran sejati. Ketika ia mulai merenungkan berbagai sistem filsafat yang berkembang dari penyelidikan akal, ia merasa bingung, mengapa sistem-sistem filosofis bisa berbeda satu sama lain, padahal mereka sama-sama didasarkan pada akal. Kalau akal memang bisa mencapai kebenaran sejati, maka mestinya sistem-sistem filsafat ini akan sampai kepada kebenaran yang sama. Tapi nyatanya mereka berbeda satu sama lainnya. Ini, bagi al-Ghazali, merupakan petunjuk bahwa akal tidak bisa mencapai kebenaran sejati. Kebenaran mereka adalah kebenaran semu, yang nampaknya saja benar, tapi pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi ternyata keliru. Ini tak ubahnya seperti ketika kita bermimpi. Apa yang kita alami dalam mimpi akan terasa begitu nyata. Tetapi ketika kita terjaga, kebenaran-kebenaran itu kini tampak rancu, tidak masuk akal. Demikianlah, untuk kedua kalinya al-Ghazali dikecewakan oleh kanyataan bahwa, seperti indera, akal juga ternyata tidak bisa dipercaya. Ia pun kembali dilanda keraguaan yang menyiksa.

Untuk memulihkan keyakinannya kembali, maka ia memutuskan untuk meninggalkan Baghdad, dengan mencampakkan kedudukannya sebagai rektor Universitas Nizhamiyyah pusat Bagdhad, universitas terbesar dunia Islam saat itu. Selanjutnya ia melakukan pengembaraan spiritual lebih dari 10 tahun. Dalam pengembaraannya yang panjang ini, ia kemudian menyadari betapa indera dan akal punya kelemahan-kelemahan yang mendalam. Dalam salah satu karyanya, ia mengatakan bahwa akal adalah seperti timbangan emas, yang bisa diandalkan kalau yang ditimbang berupa cincin, gelang, anting dsb. Tetapi pertanyaannya, dapatkah timbangan emas dipakai menimbang gunung? 

Kemudian, setelah melaluinlatihan spiritual keras, maka al-Ghazali akhirnya menemukan bahwa "hati"-lah yang betul-betul dapat diandalkan untuk bisa menerima kebenaran secara lebih sempurna. Tetapi bukan atas usaha manusia semata, melainkan melibatkan kehendak Tuhan yang mahakuasa. Apa yang dapat manusia lakukan dengan hatinya hanyalah mempersiapkan diri (isti'dad) untuk dapat menerima kebenaran dengan lebih komprehensif. Manusia yang telah membersihkan hatinya sehingga ibarat kaca yang ransparan, sehingga dapat menerima cahaya ilahi saat cahaya itu membersit di atas hatinya dengan sangat jelas.

Pelimpahan cahaya ilahi ke dalam hati manusia yang telah siap menerimanya itulah yang disebut para sufi sebagai "mukasyafah" (penyingkapan), atau "musyahadah" (penyaksian). Dalam peristiwa ini, manusia diperlihatkan Tuhan segala realitas dengan langsung dan gamblang, sehingga tidak menimbulkan sedikitpun keraguan di dalam hatinya. Begitulah, melalui hati, al-Ghazali akhirnya mendapatkan apa yang selama ini dicari-carinya: kebenaran sebagaimana adanya dan keyakinan yang teguh akan apa yang diketahuinya.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS