MAKRIFAT, PENGETAHUAN SEJATI

Oleh : Prof. Mulyadi Kartanegara 

Pengantar:
Mulai fasal 21 kita mendiskusikan tentang makrifat, setelah sebelumnya kita mendiskusikan soal Hakikat: Deskripsi Ontologis Realitas. Seperti dalam bab II, bab ini juga akan memuat 16 fasal tentang segala yang berhubungan dengan makrifat.

Ketika kita menyebut Makrifat sebagai pengetahuan sejati, ini tidak berarti bahwa jenis pengetahuan yang lain, yang disebut Ilm, adalah ilmu yang tidak benar. Kita menyebutnya pengetahuan sejati, karena makrifat merupakan jenis pengetahuan yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya yang menghasilkan isi dan metode yang juga berbeda.

Ilmu pengetahuan ('ilm), biasanya diperoleh melalui otoritas orang lain, baik itu melalui seorang guru atau buku, dan karena itu disebut sebagai ilmu perolehan ('ilm hushuli). Ini berarti bahwa ilmu-ilmu tersebut diperoleh secara tidak langsung dan kebenarannya didasarkan pada otoritas para pendahulu dan tidak dialami oleh sang pencari ilmu sendiri. Dikatakan tidak langsung karena kalau ilmu itu dioeroleh dari ajaran seorang guru, maka barangkali yang mengalami pengalaman langsung dan orisinil terhadapmobjeknitu adalah guru itu sendiri, atau barangkali gurunya guru itu dan seterusnya. Dan kalau ilmunya itu diperoleh lewat buku, maka yang ia pelajari bukanlah objek itu sendiri, melainkan simbol--yang tidak akanbtersentuh--dari objek itu, tetapi bukan objek itu sendiri. "Bisakah," tanya Rumi, "kita memetik sekuntum mawar, dari M.A.W.A.R? Anda baru menyebut nama, carilah yang empunya nama!" Karena sifatnya tidak langsung, maka ilmu pada dasarnya tidak akan bisa memberikan kepastian intuitif kepada yang memilikinya. Sepertinorang yang tidak pernah mencicipi benda-benda manis tidak akan akan pernah mengerti dengan pasti apa dan bagaimana rasa manis itu dari puluhan bukunyang dibacanya, atau seratus orang yang menerangkan kepadanya.


Berbeda dengan pengetahuan biasa, makrifat diraih secara langsung oleh sang arif dan karena itu mendatangkan kepastian bagi yang mengalaminya serta memberikan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tenang yang diketahuinya itu, sepertiyang dialami misalnya oleh al-Ghazali, yang sebelumnyapernah dilanda oleh rasa ragu yang radikal untuk waktu yang panjang. Pengetahuan langsung oleh seseorang terhadap objeknya sudah biasa kita alami dalam pengalaman inderawi. Misalnya saya yakin bahwa pulpen yang saya pakai menulis ini ada karena saya menyentuhnya lewat indera peraba yaitu jari-jari tangan saya. Tetapi yang disebut pengalaman langsung dalam tasawuf terjadi bukan pada tataran inderawi, tetapi pada tataran intuisi dan objek yang dialami bisa jadi--bahkan kebanyakan--bersifat non-fisik. 

Jadi yang dimaksud dengan pengalaman mistik adalah pengalaman langsung hati manusia terhadap terutama objek-objek non-fisik, seperti yang para sufi alami di alam misal (the imaginal world). Karena objek tersebut dialami secara langsung maka ia mampu mendatangkan pemahaman yang mendalam dan karena itu memberi kepastian, terutama bagi yang mengalaminya, suatu kepastian yang tidak bisa diperoleh dari buku atau berdasarkan otoritas. Seperti pemahaman orang yang pernah merasakan manisnya gula tentang apa itu manis, dibandingkan dengan orang yang mempelajari manis itu dari berjilid-jilid buku. Yang terakhir boleh saja membual dengan teori-teorinya tentang manis, tetapi ia sendiri sebenarnya tidak pernah merasa yakin tentang apa itu manis yang sesungguhnya. Bagi mereka yang telah merasakan manis, hakikat manis telah ia pahami, meskipun mungkin saja ia tidak bisa mendefinisikannya. Dengan kata lain ia tidak memerlukan definisi untuk mengerti apa itu manis.

Perbedaan lain antara ilmu dan makrifat bisa dilihat dari sudut metodologis. Kalau ilmu mengandalkan indera dan akal, maka makrifat mengandalkan hati atau apa yang biasa disebut intuisi. Ilmu telah menghasilkan metode diskursif (bahtsi), sedangkan makrifat menghasilkan metode intuitif (dzawqi). Dalam metode diskursif, terdapat jurang yang lebar antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati. Dan ini terjadi, menurut Iqbal, karena akal cenderung meruang-ruangkan (spatialisasi) objek-objeknya, bukan hanya objek-objek kongkrit seperti ruang, tapi juga yang tidak begitu kongkrit, seperti waktu. Dari sudut pandang akal, waktu yang sebenarnya organik ketika dilihat dari sudut intuisi, dipilah-pilah sedemikian rupa, ke dalam satuan-satuan waktu yang homogin, sehingga menyerupai ruang. Maka kitapun mengenal istilah milenium, abad, dasawarsa, windu, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, detik dst. Karena sementara waktu yang diukur adalah homogin (satu jam, misalnya, dimanapun adalah sama), waktu yang kita alami sebenarnya adalah heterogen (satu jam bagi yang menunggu, akan dirasakan lebih panjang, daripada bagi yang ditunggu). Karena sifatnya memilah-milah, maka metode diskursif tidak pernah betul-betul mempunyai keintiman terhadap objek-objek yang ditelitinya. 

Berbeda dari metode diskursif, metode intuitif--karena sifatnya yang langsung--memiliki keintiman dengan objeknya. Maka banyaklah sufi berbicara tentang kesatuan pengetahuan, yang mengetahui dan yang diketahui ('ilm, 'alim dan ma'lum). Bentuk penyatuan ini dapat dijelaskan dengan baik melalui konsep ilmu hudhuri, di mana objek-objek pengetahuan diketahui secara langsung setelah mereka dihadirkan dalam jiwa atau kesadaran seseorang. Karena ketika objek-objek tersebut dihadirkan dalam jiwa seseorang, maka ia dapat mengidentifikasikan objek-objek tersebut dengan dirinya. Ketika itu terjadi, maks objek-objek tersebut telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya, sehingga pengetahuan tentang mereka memiliki keintiman yang sama dengan keintiman dengan dirinya sendiri. Adapun pengetahuan tentang diri sendiri (self-knowledge), dapat diketahui secara langsung, tanpa perantara, juga tanpa pemilahan antara subjek dan objek. Dalam pengetahuan tentang diri-sendiri ini terdapat kesamaan antara yang mengetahui, pengetahuan dan yang diketahui, karena ketiga pemilahan ini merujuk kepada sebuah entitas yang sama dan satu, yaitu diri kita sendiri.

Hal lain yang membedakan ilmu dan makrifah adalah bahwa yang pertama dapat diperoleh melalui usaha diri sendiri, sedangkan yang terakhir tidak dapat diperoleh, menurut Nicholson, "melalui penalaran rasional, tetapi melalui penyingkapan (mukasyafah) dan visi apokaliptik yang kesemuanya tergantung pada kehendak dan kemurahan Tuhan, yang akan mengaruniakannya sebagai hadiah kepada mereka yang telah diciptakan dengan kemampuan untuk menerimanya. Ia seperti cahaya barakah Tuhan yang membersit ke dalam hati dan meliputi segala daya manusia dengan sorotan-sorotan-Nya yang menyilaukan mata". []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS