MANUSIA DAN KEBEBASAN MEMILIHNYA

Oleh: Prof. Mulyadi Kartanegara

Di antara makhluk Tuhan, manusia adalah makhluk yang paling istimewa. Betapa tidak, manusia adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang diberi kebebasan memilih sebagai "amanah" yang tidak sanggup diemban oleh langit, bumi, gunung dan lain-lain. Dan ini berangkali sebagai konsekwensi logis dari kekhalifahannya di muka bumi. Jadi, sebagai khalifah, atau wakil Tuhan di muka bumi, manusia diberi Tuhan bukan hanya segala apa yang ada di muka bumi, tetapi juga kebebasan memilih yang merupakan hadiah yang paling istimewa dari Tuhan, yang patut kita semua syukuri. 

Kebebasan memilih (ikhtiyar) yang dimiliki manusia ini telah dipandang semu oleh kaun Jabariyyah, Asy'ariyya, dan bahkan juga oleh sebagian sufi. Tetapi kebebasan memilih ini telah dibela dan diperkokoh oleh Jala al-Din Rumi dengan argumen-argumen yang nampak sederhana tetapi sangat menghunjam hati. Bagi kaum Jabariyyah kebebasan yang kita miliki hanyalah semu. Nampaknya saja seperti bebas, tetapi sesungguhnya kita hanya memainkan peran yang telah sebelumnya ditentukan oleh sang Dalang. Dan inilah takdir yang mereka pahami. Kaum Asy'ariyyah, di pihak lain, menyatakan adanya jenis tindakan di mana manusia memiliki ikhtiar (daya memilih), tetapi daya tersebut baru dicipta Tuhan ketika pilihan dilaksanakan, sehingga pelaksana yang sejati adalah Dia yang menciptakan daya tersebut, yaitu Tuhan. Inilah konsep "kasab" atau "iktisab" Asy'ariyyah yang terkenal sulit.

Tapi bagi Rumi kebebasan manusia untuk memilih ini real, bukan semu. Tidak masuk akal, baginya, kalau manusia tidak punya kehendak atau pilihan bebas, sementara dalam al-Qur'an terdapat banyak suruhan dan larangan. Seandainnya manusia tidak punya pilihan bebas, maka mengapa kita marah kepada pencuri, ketika ia mencuri milik kita? Atau mengapa seorang guru memarahi anak muridnya ketika ia malas? Bahkan, menurut Rumi, hewan saja tahu bahwa manusia itu bisa melakukan pilihan. Misalnya, kalau kita pukuli hewan tunggangan kita, katakan kuda, lalu karena kesakitan kuda tersebut marah, maka mengapakan hewan tersebut tidak memarahi cemeti yang langsung melukai tubuhnya, tetapi justru memarahi manusianya? Ini tak lain, karena hewan tahu bahwa cemeti tidak bisa memilih, maka manusialah yang patut dimarahi, karena ialah yang mampu memilih untuk bertindak sekejam itu, atau tidak. 

Dengan kebebasan memilih yang dimilikinya, maka manusia menjadi satu-satunya makhluk moral, dalam arti makhluk yang bisa diberi predikat baik dan buruk. Moralitas tidak mungkin tanpa mengandaikan adanya kebebasan memilih. Tidak mungkin, misalnya, kita mengatakan kelapa jahat, ketika ia menimpa kepala seseorang, karena kelapa tidak bisa memilih untuk tidak jatuh. Berbeda halnya, kalau seseorang memukul kepala orang lain, maka ia bisa kita bilang jahat, karena ia bisa memilih melakukan hal lain selain memukul.

Pertanyaannya sekarang adalah: kalau manusia memang memiliki kebebasan memilih, maka bagaimana hubungan kebebasan memilih ini dengan takdir? Biasanya kita mengartikan takdir sebagai ketentuan Tuhan yang pasti dan berlaku pada kita dari sejak awal hidup kita hingga akhirnya. Dalam pandangan seperti ini, kita tidak memainkan peran apapun kecuali seperti wayang yang telah ditentukan dari awal sampai akhir oleh sang dalang. 

Konsep seperti ini dipandang tidak cocok oleh Rumi, karena bisa menimbulkan sikap pasrah atau fatalistik dari manusia. Di sini Rumi dengan tegas mengeritik pandangan kaum Jabariyyah, yang dipandang telah mencampakkan hadiah yang telah ada dalam genggaman manusia, yaitu kebebasan memilih. Ia menyamakan kaum Jabariyyah seperti orang yang tidur di tengah jalan. "Menjadi Jabariyyah, akan sama dengan tidur di tengah jalan. Jangan, jangan tidur di tengah jalan, tapi berlarilah sampai gerbang istana sang Raja." Sebaliknya ia mengajukan konsep yang sangat progressif, ketika di tanya tentang tawakkal sebagai perbuatan yang dicintai Allah. Rumi menjawab, 

"Memang tawakkal dicintai Allah, 
tapi ingat bahwa Ia telah memasang tangga di depan kita. 
Tangga itu bukan hanya untuk dilihat, 
tetapi harus didaki hingga puncaknya.
Anda punya tangan, mengapa enggan direntang?
Anda memiliki kaki, mengapa dibiarkan lumpuh.
Sesungguhnya ketika sang Tuan memberi hambanya alat,
Maka ia harus tahu apa yang harus ia lakukan.."

Dari sinilah Rumi menawarkan konsep takdir yang sangat menarik dan progresif, sebagai hukum kehidupan (law of life). Takdir, menurutnya, bukanlah bahwa kita dipaksa untuk mencuri atau berbuat baik, tapi sebagai hukum kehidupan, di mana "kalau kita mencuri, maka akan ada kosekuensi-konsekuensi tertentu yang tidak bisa dirubah, sebagai mana juga konsekuensi kalau kita berbuat baik. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang dimaksud dengan takdir, yang tidak dapat dirubah oleh siapapun. Selanjutnya, konsekuensi-konsekuensi dari tindakan manusia ini ini kemudian menjadi dua pilihan yang ditawarkan kepada manusia, adapun manusianya berdiri bebas di antara pilihan-pilihan yang ada di hadapannya, sebagai hukum kehidupan. Oleh karena itu di sini kita bisa melihat bahwa takdir, sebagai hukum kehidupan, tidak bertentangan dengan kebebasan memilih manusia. Misalnya, soal jodoh. Bahwa laki-laki berjodoh dengan perempuan, itu adalah takdir yang tidak bisa dipungkiri. Tapi dengan siapa ia berjodoh, pilihan manusia berkontribusi besar terhadap perjodohnya itu.

Ini menurut saya merupakan kontribusi Rumi yang sangat berharga kepada problem takdir yang telah begitu lama diperdebatkan dari masa klasik hingga saat ini dan telah merobek-robek persatuan umat. Bagi Rumi, kebebasan memilih ini real, tapi takdir, sebagai hukum kehidupan juga real. Kedua realitas ini tidak perlu dipertentangkan, tetapi bisa berinteraksi secara harmonis dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut untuk mengeksekusi kebebasan memilih ini, bukan sebagai pembangkangan terhadap ketentuan Tuhan, tetapi justru sebagai upaya manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan atas kebebasan yang telah dikuruniakan kepadanya. Oleh karena itu Rumi menentang keras konsep Jabariyyah yang dipandang sebagai pencampakan kebebasan yang sangat berharga ini, dan dipandang bertanggung jawab atas timbulnya sikap fatalistis yang merugikan umat. Demikian Rumi juga telah memperbaiki pemahaman kita yang selama ini keliru tentang tawakkal. "Kalaupun anda mau bertawakkal, maka bertawakkallah dengan karya anda. Tebarlah bibit, baru bepasrahlah kepada-Nya!" []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS