MANUSIA: CERMIN TUHAN

Oleh: Prof. Mulyadi Kartanegara
Seperti telah disinggung sebelumnya, manusia disebut "mikrokosmos" karena pada dirinya terkandung seluruh unsur kosmik, dari mulai tingkat mineraal hingga tingkat manusia. Bahkan, manusia juga mengandung unsur-unsur ruhani, karena manusia juga memiliki ruh yang berasal dari dunia ruhani. Masing-masing tingkat wujud ini memantulkan sifat-sifat tertentu dari Tuhan, maka, manusia yang mengandung seluruh unsur alam semesta berpotensi untuk memantulkan seluruh sifat ilahi, dus, menjadi cermin bagi Tuhan.

Meskipun begitu perlu dikatakan bahwa manusia baru secara potensial saja dapat mencerminkan sifat-sifat Tuhan, karena percerminan itu baru bisa teraktual hanya pada manusia yang telah mengaktualkan seluruh potensi kemanusiaannya, yaitu ketika manusia telah mencapai tingkat insan kamil atau manusia paripurna.

Insan kamil telah menjadi tema sentral bagi beberapa sufi besar, terutama Ibn 'Arabi dan para pengikutnya. Salah seorang pengikutnya yang secara khusus menulis tentang insan kami adalah Abd al-Karim al-Jili (w. 1462). Dalam bukunya yang terkenal "al-Insan al-Kamil fi ma'rifat al-awakhir wa al-awakhir," al-Jili menjelaskan tiga macam manifestasi (tajalliyat) yang dapat dipantulkan oleh manusia dari Tuhan: manifestasi tindakan-tindakan (af'al), nama-nama (asma'), dan yang terakhir manifestasi sifat. 

Pertama, tajalli af'al, yaitu tindakan-tindakan Tuhan yang terpantul pada manusia. Ini terjadi ketika seorang manusia tidak lagi bertindak atas nama hawa nafsunya, tetapi melakukan hanya apa yang dikehendaki Allah. Dengan demikian yang berlaku pada dirinya adalah tindakan-tindakan (af'al) Allah, sedangkan ia sendiri telah tercerabut dari semua daya, upaya dan karsa dirinya sendiri. Orang seperti ini tidak bertindak, kecuali apa yang dikehendaki Allah. Ini diperkuat oleh salah satu ayat al-Qur'an dikatakan, "bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar." Jadi, sekalipun secara historis Nabi Muhammad yang melemparkan debu, tapi karena beliau melakukannya bukan atas nama hawa nafsu, maka pada hakikatnya Allahlah yang bertindak, bukan Nabi Muhammad. Di sini maka Nabi kita telah menjadi tempat bermanifestasi af'al Tuhan, menjadi sarana bagi Tuhan bertindak, atau dengan kata lain beliau telah menjadi cermin bagi tindakan-Nya. Dalam konteks inilah, kita bisa mengerti ungkapan para Sufi yang mengatakan, "Tuhan telah melihat melalui matanya, mendengar melalui telingannya dan berkata melalui lisannya." Di sini, manusia telah kehilangan daya dan kehendaknya sendiri, dan kemudian digantikan dengan kehendak dan daya Tuhan. (Bersambung) 

Kalau manusia mengandung seluruh unsur yang ada di bawah dunia manusia--mineral, tumbuhan, dan hewan--maka manusia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki mereka, yaitu akal atau intelek. Akal atau intelek, ini tidak dimiliki oleh mereka, karena sesungguhnya intelek itu merupakan unsur malaikat, sehingga dengan dikaruniai intelek, maka terkandung juga di dalam diri manusia unsur malaikat. Dengan begitu maka komplitlah manusia sebagai mikrokosmos. Lebih dari itu, di dalam diri manusia juga terkandung unsur ilahi, karena manusia dikaruniai ruh yang ditiupkan Allah kepada manusia, seperti disebutkan dalam al-Qur'an, "wanafakhtu min ruhi."

Sedangkan dalam kaitannya dengan Tuhan, manusia adalah wakil-Nya di muka bumi (khalifatullah fil-ardh), yang sangat dimulyakan-Nya. Sebagai khalifah, tugas manusia antara lain adalah menyampaikan berita dari dunia ghaib agar dapat dipahami dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh umat manusia. Tetapi karena tidak semua pada prakteknya bisa menerima "pesan ilahi" ini, maka Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul-Nya untuk membawa kabar tersebut. Rumi berkata: "Ketika kebun-kebun mawar telah musnah, kemanakah kita mencari semerbak mawar?" jawabnya pada "air mawar." Yang dimaksud Rumi adalah, ketika Tuhan yang ghaib tidak bisa kita lihat, maka melalui para Nabi dan Rasullah pesan dan berita dari-Nya dapat kita peroleh. Oleh karena itu, para Nabi dan Rasul, yang berpuncak pada Nabi Muhammad, adalah contoh-contoh par excellence dari manusia paripurna. Mereka inilah yang sesungguhnya patut dijadikan sebagai tujuan akhir penciptaan alam. Ketika para Nabi tidak diturunkan lagi setelah "penutup para Nabi dan Rasul", yaitu Muhammad, maka peran tersebut diteruskan oleh para awliya (wali-wali) Allah, baikmitu para sahabat, al-muqarrabin,mdan para sufi.

Adapun bentuk nyata dari pemuliaan Tuhan kepada manusia adalah tanggung jawab-Nya untuk menciptakan segala sarana dan prasarana yang dibutuhkan bukan hanya untuk memungkinkan manusia hidup tetapi juga untuk menjalankan tugasnya sebagai wakil atau khalifah-Nya di muka bumi. Secara praktis, Tuhan telah menciptakan segala apa yang ada di muka bumi ini untuk manusia, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab suci-Nya, "huwalladzi ja'ala lakum ma fil-ardhi jami'a," agar segala rencana Tuhan dalam menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya bisa terlakana.

Sebagai catatan akhir perlu diisampaikan di sini bahwa hadits yang dikutip di atas, telah dijadikan basis ajaran Hakikat Muhammadiyyah atau ada juga yang menyebutnya Nur Muhammadiyyah, yang mengatakan bahwa yang pertama dicipta, sebelum alam alam semesta, adalah Muhammad saw., karena konsekwensi dari hadis yang mengatakan, "kalau bukan karena engkau yang Muhammad, tidak akan Kuciptakan alam semesta, adalah bahwa Muhammad pastilah sudah ada sebelum alam semesta ada atau dicipta. Tentu saja yanag dimaksud bukanlah Nabi Muhammad yang lahir di Mekkah, tetapi "hakikat" Muhammad yang telah ada jauh sebelum alam diciptakan, bahkan lebih dari itu sering dikatakan bahwa seluruh alam semesta ini dicipta dari hakikat atau nur Muhammad ini. Wallahu a'alam. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS