EVOLUSI ALAM

Oleh: Prof. Mulyadi Kartanegara

Sejauh ini kita telah melukiskan alam secara relatif deskriptif, dalam arti menggambarkan tingkat-tingkat eksistensi secara statis. Kita menggambarkan mereka sebagai sesuatu yang seakan tersekat ke dalam kategori-kategori ontologis yang mapan. Tetapi Jalal al-Din Rumi memberikan sebuah penggambaran alam yang sangat dinamis, di mana dijelaskan bahwa telah terjadi sebuah proses evolutif di alam semesta dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang paling tinggi. Inilah yang kita maksud dengan teori "evolusi alam" dalam wacana tasawuf.

Sesungguhnya jauh sebelum masa hidup Rumi (1207-1274) proses transmutasi alam, terutama pada tingkat mineral, telah dilukiskan secara terperinci oleh seorang ahli kimia dan sekaligus sufi, yang bernama Jabir b. Hayyan, yang hidup di awal abad kesembilan. Jabir melihat bahwa telah terjadi transmutasi evolisioner pada benda-benda inorganik, dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Jabir b. Hayyan mencoba menggunakan apa yang disebut sebagai "philosopher's stone" dan "elixir" untuk mempercepat trnasmutasi alamiah ini dalam rangka mengubah logam-logam kasar menjadi logam mulia, terutama perak dan emas. Dari sinilah kemudian muncul yang disebut alkemi, sebuah ilmu terapan dari kimia, sebagaimana astrologi adalah ilmu terapan dari astronomi. 

Para sufi yang datang kemudian mengambil dari Jabir proses transmutasi artifisial ini untuk kemudian diterapkan kepada proses transformasi jiwa. Dan itu mereka lakukan melalui latihan-latihan kejiwaan (mujahadah) untuk mengubah (bukan logam kasar menjadi emas, tapi) jiwa yang rendah ke arah yang lebih suci dan tinggi. Metode ini kemudian diikuti oleh sufi-sufi lainnya. (Dalam kasus Rumi, transformasi ini dilukiskan dengan dapur yang dipakai untuk mengolah bahan makanan mentah (yaitu calon anggota tarekat Mawlawiyyah) untuk diubah menjadi makan yang matang dan siap saji (menjadi seorang sufi).

Adapun Rumi mengambil dari Jabir konsekuensi logIs dari transmutasi alamiah ini. Bagi Rumi transmutasi alamiah ini tidak hanya terjadi pada tingkat mineral, tetapi juga pada tingkat-tingkat yang lainnya, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan bahkan manusia. Baginya transmutasi ini melanda setiap benda yang ada di alam semesta dalam bentuk evolusi.

Evolusi terjadi dari tingkat benda yang terendah yaitu unsur-unsur, hingga yang tertinggi yaitu manusia. "Kita," kata Rumi, "pernah hidup di alam tumbuh-tumbuhan, kemudian mati. Kita tidak ingat lagi kini, kecuali ada rasa senang dalam memandang bunga-bunga di musim semi. Lalu kita muncul atau hidup sebagi hewan. Kemudian mati untuk hidup di alam manusia. Setelah itu kita mati sebagai manusia dan akan muncul di dunia malaikat untuk seterusnya mengarungi alam yang tiada kata mampu melukiskannya." perjalanan ini akan diteruskan hingga pertemuan dengan Tuhan tercapai." 

Tentu saja evolusi ini tidak pernah akan terjadi kecuali melalui daya yang luar biasa yang menggerakkan seluruh alam semesta. Para filosof Muslim, seperti Ikhwan al-Shafa' akan menyebut kekuatan ini sebagai jiwa, yakni jiwa universal (al-nafs al-kulliyah). Tetapi yang secara lebih menarik dan tepat disebut oleh Rumi sebagai cinta ('isyq), yakni cinta alam pada Tuhan. Tentu saja jiwa adalah kekuatan besar, tetapi lebih dari jiwa, cinta adalah kekuatan besar yang mengarahkan, yakni mengarahkan sang pencinta kepada Kekasihnya, yaitu Allah. "Alam pada dirinya mati dan beku seperti salju, kalau bukan karena cinta," tanya Rumi, "bagaimana langit-langit alam itu bisa beputar?" Itu begitu, menurut Rumi, karena pesona gelombang cinta. Mereka berputar-putar seperti para pencinta mabuk kepayang, karena rindu yang tak tertahankan kepada sang kekasih. Ini, menurut saya, merupakan gagasan brilian yang tidak dimiliki oleh peminat-peminat teori evolusi yang lainnya, seperti Lamarack dan Darwin pada abad kesembilan belas.

Cintalah, kata sang Mawlana, yang menyebabkan atom-atom berpadu atau berpisah. Cinta jugalah yang telah menyebabkan tumbuh-tumbuhan tumbuh dan berkembang biak. Yang menarik di sini adalah bahwa gerak alam yang didorong oleh cinta ilahi bukanlah gerak acak yang datar, melainkan gerak vertikal, gerak alam yang rendah menuju Tuhan yang paling tinggi. Itulah sebabnya dalam imajinasi Rumi, alam adalah seperti laron yang terbang berputar-putar untuk mencari sumber cahaya yang terang di atas sana.

Juga perlu dijelaskan di sini bahwa tidak seperti teori Darwin yang kemudian bersifat sekuler, teori evolusi Rumi adalah teori evolusi teistik. Karena sementara Darwin menolak Tuhan sebagai sebab terakhir evolusi, Rumi justru mensyaratkan Tuhan sebagai sebab pertama atau sebab ultimate dalam bentuk "atraksi" bagi terjadinya evolusi. Sebab menurut Rumi, evolusi hanya bisa terjadi apabila ada cinta di dalamnya. Sedangkan cinta itu adalah cinta kepada Tuhan Yang Mahasempurna. Maka bagaimana mungkin ada cinta alam terhadap Tuhan, kalau Tuhannya sendiri tidak ada. "Setiap sesuatu," kata Rumi, "Cinta pada kesempurnaan, maka ia meretas ke atas penaka tunas." 

Selain itu, evolusi Rumi, setidaknya menurut Iqbal, memberi antusiasme masa depan biologis. Sebab tidak seperti evolusi Darwin yang berhenti pada manusia, evolusi Rumi berlangsung terus pasca manusia, sampai pertemuan dengan Tuhan, yang menjadi tujuan akhir, tercapai.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS