EPISTEMOLOGI QUR’ANI

Sebuah Pengantar
Oleh: Prof. Mulyadi Kartanegara

Prolog
Pembahasan epistemologi pada saat ini sangat diperlukan karena minimnya informasi tentang hal tersebut, apalagi kalau kita bicara tentang epistemology Islam. Saya telah menulis tentang epistemology Islam dalam sebuah buku yang berjudul Menyibak Tirai kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Mizan 2003), di mana diuraikan tentang topik-topik utama epistemology Islam, berdasarkan pada bahan-bahan dan informasi yang saya dapatkan dalam karya-karya filosofis dan ilmiah Islam.

Namun apa yang akan disampaikan pada lembaran-lembaran berikut ini sekalipun sama-sama tentang epistemology, tetapi perspektif yang digunakan berbeda. Di sini saya akan semaksimal mungkin munggunalkan bahan-bahan dan data-data yang terdapat dalam al-Qur’an sendiri, kecuali di bagian akhir, sehingga tulisan ini diharapkan akan memberi gambaran yang relative objektif tentang bagaiman al-Qur’an sendiri memandang ilmu pengetahuan.

Islam, al-Qur’ân dan Ilmu Pengetahuan

1. Islam dan Ilmu Pengetahuan
Barangkali tidak ada agama yang seempatik Islam dalam menganjurkan ummatnya untuk menuntut ilmu. Menuntut ilmu, dalam pandangan Islam, bukan hanya sekedar memenuhi rasa ingin tahu atau tuntutan hidup belaka, tetapi merupakan kewajiban agama, sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah S.A.W.: “Menuntut ilmu merupakan kewajiban (farîdhah) bagi setiap individu Muslim, laki-laki dan perempuan.” Bahkan kewajiban menuntut ilmu bagi umat ini diberikan tanpa dibatasi ruang dan waktu. Betapa tidak, Nabi memerintahkan, “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat,” yang menunjukkan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiaban seumur hidup, dan juga “tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina,” yang menunjukkan tak adanya batas ruang untuk belajar, dan juga disiplin ilmu yang kita pelajari. Tak heran kalau Prof. Osman Bakar dari Malaysia dalam salah satu ceramahnya pernah berujar “Islam is religion of knowledge.” 

Dari sini kita melihat dengan jelas betapa Islam memberi kedudukan yang tinggi kepada ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sangat tidak masuk akal, orang yang mengatakan bahwa Islam adalah penghambat ilmu pengetahuan. Islam adalah pendukung ilmu pengetahuan yang sangat semangat. Tidak pernah sekalipun Islam, sebagai agama, melarang umatnya untuk menuntut ilmu, bahkan sebaliknya ia sangat menganjurkan pencarian ilmu tersebut. 

Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang memuji orang-orang yang berilmu, sampai-sampai mereka disamakan dengan orang yang melek, sementara orang yang tidak berilmu dengan orang buta. “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melek?” (6:50; 13:16 ), atau dengan ungkapan lain, “apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?” (39:9). Jawabnya tentu saja tidak, dan itu, antara lain karena Allah S.W.T. berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kita dan yang diberi ilmu beberapa derajat.” (58:11). 

2. Nisbat Ilmu, Amal dan Iman
Meskipun begitu perlu diingat bahwa dalam Islam, ilmu tidak dituntut demi ilmu semata, tetapi untuk diamalkan. “Ilmu adalah cahaya,” demikian sabda Nabi, yang diharapkan akan bisa menerangi jalan hidup manusia, sehingga bisa sampai ke tujuan dengan selamat. Tanpa cahaya sebagai penerang tak ada yang menjamin apakah kita akan sampai ke tempat tujuan dengan selamat, atau tidak. Dalam tradisi Islam, pekerjaan (‘amal) yang tidak didasarkan pada ilmu, pekerjaannya terancam untuk ditolak. 

Tetapi ilmu yang tidak diamalkan juga akan terancam sia. Nabi bersabda, “ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tak berbuah.” Menurut Muhammad Iqbal, al-Qur’an lebih mengutamakan amal dari pada pengetahuan, karena ilmu yang tidak diamalkan takkan member banyak manfa’at. Meski begitu, itu tidak berarti bahwa ilmu tidak penting, karena ilmu menjadi syarat bagi diterimanya amal kita. 

Selain itu, kita juga harus mengerti bahwa selain dengan ilmu, amal juga harus harus dikaitkan dengan iman. Al-Qur’an mensinyalir bahwa perbuatan yang baik, semacam memberi sedekah, yang tidak berdasar pada iman, tetapi pada yang lain, seperti riya, maka itu akan seperti menumpuk tanah di atas sebuah batu yang licin. Ketika hujan datang menerpa, maka ia akan menghempaskan segala apa yang ada di atas batu tersebut (2:264). Perpaduan antara iman dan amal ini akan menjamin kejayaan hidup kita dan “menghindarkan kita dari kerugian” (103:1), menyelamatkan kita dari “terjatuh ke tempat yang paling rendah” (95:4-6) dan “membawa kita ke surga yang dijanjikan” (2:25). Jadi ketiga komponen ini yakni ilmu, amal dan iman harus tetap kita miliki dan pertahankan, agar amal kita selama di dunia tidak menjadi sesuatu yang sia-sia.

3. Kedudukan Ilmu dalam Peradaban
Islam tidak pernah menghambat kemajuan. Dalam sejarah peradaban, dunia Islam pernah memainkan peran yang sangat berarti baik bagi umat Islam itu sendiri maupun dunia. Kalaupun hari ini dunia Islam tidak dalam posisi memimpin, tapi itu bukanlah karena Islam itu sendiri. Kalau Islam identik dengan kemunduran, maka semestinya tikkan pernah ada masa di mana umat Islam memimpin dunia di bidang ilmu pengetahuan. Kemunduran Islam saat ini adalah karena kita tidak lagi menjalankan dengan serius kewajiban menuntut yang telah dipikulkan kepundak kita dengan sungguh-sungguh. 

Seperti telah ditunjukkan dalam tulisan saya Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, rahasia sukses ilmuwan-ilmuwan Muslim pada abad tengah adalah kesungguh-sungguhan mereka dalam menjalankan kewajiban menuntut ilmu yang telah dicanangkan oleh Nabi kita. Berbagai bidang ilmu, baik agama maupun umum, telah dituntut, dikaji, dianalisa dan diuji kebenarannya oleh para sarjana (‘ulamâ’) kita. Tidak usah heran kalau kita kemudian mengenal nama-nama agung yang terkenal bukan saja di dunia Islam tapi juga di seluruh dunia: Ibn Hajar al-Asqallânî di bidang Hadits, al-Ghazali di bidang ilmu Kalam, Ibn ‘Arabî di bidang Tasawuf, al-Thabarî di bidang Tafsir dan sejarah, al-Râzi dan Ibn Sînâ di bidang kedokteran, Mulla Shadra di bidang filsafat, Ibn Sâthir dan Qutb al-Din Syirâzi di bidang astronomi, Ibn Haytsam di bidang optik, al-Khwarizmî dan Tsâbit b. Qurrah al-Harrânî di bidang matematik dll. Nama-nama besar dan pencapaian ilmiah ini merupakan kontribusi besar umat Islam kepada peradabana dunia, yang tidak bisa kita pisahkan dari dari etos ilmuan yang dibangun oleh al-Qur’ân, dan posisi yang tinggi yang diberikan oleh masyarakat Muslim kepada ilmu pengetahuan. 

Filsafat Ilmu dalam Perspektif al-Qur’an

1. Apa itu Ilmu?
Al-Qur’an telah dipandang oleh kaum Muslimin sebagai kitab induk segala ilmu, karena prinsip-prinsip segala ilmu telah dicanangkan di dalamnya. Demikian juga kalau kita teliti, al-Qur’ân telah memuat prinsip-prinsip utama filsafat ilmu (epistemologi), yang kalau kita elaborasi bisa menghasilkan sebuah teori ilmu yang komprehensif. Sekalipun tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar, tetapi insya Allah saya akan berusaha mengelaborasi semaksimal mungkin aspek-aspek penting dari epistemologi Qur’ani. Di bagian ini, akan didiskusikan pengertian atau definisi dari yang kita sebut ilmu ini, baik menurut para ilmuwan Muslim maupun al-Qur’an sendiri.

Arti harfiah ilmu (‘ilm) adalah pengetahuan, dari kata dasar ‘alima yang berarti “mengetahui.” Namun dalam tradisi ilmiah Islam, ilmu bukanlah sembarang pengetahuan, tetapi pengetahuan yang real. Salah satu definisi ilmu yang diberikan oleh para ilmuwan Muslim adalah “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya” (ma’rifat al-syay’ ‘ala mâ huwa bihi). Kata “sebagaimana adanya” ini mengandung pengertian “sesuai dengan kenyataan atau realitasnya.” Jadi sebuah pengetahuan baru dikatakan ilmiah, apabila ia “berkorespon” dengan kebenaran atau realitasnya. Ini penting dikemukakan di sini, karena banyak pengetahuan yang kita yakini, tapi ternyata belum mencapai tingkat ilmiah, yakni belum sebagaimana adanya. Seperti ungkapan “bintang kecil, di langit yang biru,” belum bisa dikatakan sebagaimana adanya, karena ternyata bintang tidak kecil dan langit pun tidak biru. Bahwa bintang memang terlihat kecil ya, tapi sesungguhnya ia sangat besar, langit hanya terlihat biru karena bias atmosfir yang memantukan sinar matahari. Ketika mata hari tak nampak, maka biaspun hilang dan langit akan terlihat hitam. Jadi kesan indrawi kita belum tentu melaporkan sesuatu sebagaimana adanya. Oleh karena itu ilmu harus dibedakan dengan kesan.

Itu sebabnya para ilmuwan Muslim, mengkontraskan ilmu dengan opini (ra’y), di mana opini adalah pengetahuan yang tidak didasarkan pada realitas objeknya, tetapi pada informasi-informasi yang belum teruji kebenarannya. Istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan fenomena ini adalah dugaan, perkiraan atau sangkaan (zhann). Zhann menurut al-Qur’an tidak akan membawa atau memberi kita suatu kebenaran, sedangkan ilmu akan membawa kita kepada kebenaran. “Mereka tidak punya ilmu tentang itu, tetapi hanya mengikuti prasangka belaka, padahal sesungguhnya prasangka itu tidak akan berfaidah apapun terhadap kebenaran” (53:28). Oleh karena itu kita dianjurkan untuk menghindarkan banyak berprasangka, karena sebagian prasangka itu nista. “Hindarilah banyak berprasangka, karenasebagian prasangka itu dosa.” (49:12).

Definisi ilmu sebagaimana dikemukakan di atas ini sangat penting kita pahami, karena perintah menuntut ilmu merupakan sebuah kewajiban. “Menuntut atau mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu Muslim, laki-laki maupun perempuan,” demikian Nabi kita menyampaikan pesannya buat kita. Perintah ini menurut saya sama dengan perintah untuk mencari kebenaran, karena ilmu tidak lain dari pada kebenaran, yakni kebenaran dari sebuah objek yang sedang kita teliti. Namun sayang kebanyakan motivasi para pelajar kita dalam menuntut ilmu,kebanyakan bukanlah mencari kebenaran, tetapi yang lain (semisal ijazah, diploma, naik pangkat atau mencari pekerjaan). 

2. Tipelogi Ilmu 
Mencari ilmu sama dengan mencari kebenaran, namun kita juga tahu bahwa Kebenaran Terakhir (the Ultimat Truth) adalah Allah sendiri, yang sering dipanggil al-Haqq, sang Kebenaran. Karena itu mencari ilmu akan sama dengan mencari kebenaran, dan mencari kebenaran akan sama dengan mencari Allah. Namun dalam tradisi Islam, karena keunikan Allah, yang tidak sama dengan suatu apapun, maka dzat atau esensi Allah tidak bisa kita kenal. Dalam sebuah hadits Qudsi, yang sering digunakan oleh para Sufi, Allah digambarkan sebagai “Harta Terpendam (Kanz Makhfiyy),” yang berarti tersembunyi (makhfiyy) dan karena itu tak seorangpun akan mengetahuinya. Meskipun begitu, dalam hadits yang sama Allah menyatakan bahwa Ia ingin dikenal, lalu ia menciptakan alam semesta, lewat mana kita bias mengenal-Nya, bukan melalui zhat-Nya tetapi melalui ciptaan-Nya. Ada sebuah haditis yang mengingatkan kita akan hal ini. “Pikirkanlah olehmu alam ciptaan Allah, tapi jangan memikirkan zhat (esensi)-Nya, niscaya engkau akan binasa.”

Dalam perspektif al-Qur’an alam semesta adalah ayat atau tanda-tanda kekuasaan, kebesaran dan keberadaan Allah. Al-Qur’an menyatakan bahwa “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan bergantinya siang dan malam, ada tanda-tanda (keberadaan Allah) bagi mereka yang berakal.” (3:190). Dengan demikian alam adalah sarana lewat mana kita diharapkan bisa mengenal sang Kebenaran, Allah S.W.T. dengan cara mempelajarinya. Dari mempelajari alam semesta ini muncullah ilmu-ilmu alam, baik yang berkenaan dengan langit dan alam semesta, maupun tentang bumi yang kita huni ini, atau apa yang ada di antara keduanya. Inilah yang kita sebuat sebagai ilmu-ilmu umum. Selain alam semesta, Allah S.W.T juga menurunkan kitab suci al-Qur’an sebagai ayat-ayat Allah jenis lain dalam bentuk bacaan atau ucapan. Ayat-ayat ini diturunkan sebagai bukti kebenaran kenabian Muhammad S.A.W dan juga untuk menambah keimanan seseorang. “Apabila dibacakan ayat-ayatnya, maka bertambahlah iman mereka” (8:2), jelas “ayat-ayat yang dibacakan” tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an.

Dengan ini jelas kepada kita bahwa Allah S.W.T menyajikan kepada kita dua macam ayat, sebagai sarana bagi kita untuk mengenal-Nya, satu ayat-ayat kawniyyah berupa alam, dan yang lain adalah ayat-ayat qawliyyah berupa al-Qur’an. Dan mealui pengkajian yang intensif terhadap kedua macam ayat tersebut, muncullah dua macam ilmu, yang kita kenal dengan istilah ilmu-ilmu agama (syar’iyyah atau naqliyyah) an ilmu-ilmu umum (ghayr syar’iyyah atau ‘aqliyyah). Ilmu-ilmu agama muncul sebagai hasil kajian yang mendalam terhadap al-Qur’an sebagai ayat qawliyyah, sedangkan ilmu-ilmu umum muncul sebagai hasil kajian yang mendalam terhadap alam sebagai ayat kawniyyah.

Pembagian ilmu ke dalam ilmu-ilmu agama dan umum, sebenarnya kurang tepat. Karena sepertinya ilmu-ilmu umum tersebut tidak punya nilai keagamaan. Sebenarnya kedua jenis ilmu di atas sama-sama memiliki nilau keagamaan, kalau saja dalam mempelajari alam semesta kita mengkajinya sebagai ayat-ayat Allah. Al-Jâhizh dalam pengantar buku zoologinya, Kitâb al-Hayawân, mengakan bahwa zoology (ilmu hewan) merupakan cabang dari ilmu agama, karena tujuan utama pengkajiaannya adalah untuk menunjukkan kebesaran Allah sebagai mana terlihat pada hewan. Namun karena kebanyakan ahli ilmu sekarang tidak lagi membaca alam semesta yang dijadikan objek kajiannya sebagai ayat Allah, maka tidak lagi terkandung nilai-nilai keagamaannya, karena ilmu-ilmu modern sudah mengalami proses sekularisasi. Kalau kita kembali membaca alam sebagai ayat Allah, sebagaimana kita membaca al-Qur’an, maka baik dalam ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum akan terlihat jelas niali-nilai keislamannya. 

3. Objek-objek Ilmu
Yang saya maksud dengan objek-objek ilmu adalah semua entitas yang menjadi sasaran penelitian atau pengkajian seorang ilmuwan. Pertanyaannya adalah apa saja yang boleh menjadi objek ilmu dalam pandangan al-Qur’an? Pada prinsipnya semua ciptaan Allah, yang dipahami sebagai ayat-ayat Allah, menurut al-Qur’an boleh menjadi objek-objek ilmu. Maka Allah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya (sebagai ayat-ayat-Nya) dengan hak (46:3 ). Allah S.W.T. akan menunjukkan tanta-tanda kebesaran-Nya yang terlihat di cakrawala (al-âfâq) dan dalam diri manusia sendiri (fîanfusihim) (41:53) sebagai objek ilmu atau perenungan manusia. Kita juga dihimbau untuk memperhatikan langit, bagaimana ia ditinggikan (88:17), diciptakan dan ditinggikan tanpa tiang ( 31:10; 13:2), memperhatikan burung-burung yang terbang di angkasa dengan mudah (16:79), matahari sebagai pelita yang terang benderang (71:16 ), awan-awan yang bergerak berarak-arak dan tersusun dengan rapi (24:43) bumi dan bergerak antara langit dan bumi (2:164) serta bintang-bintang yang diciptakan Allah sebagai hiasan langit (37:6).

Selain benda-benda yang terlihat di langit dan di angkasa, Allah S.W.T. juga menjadikan benda-benda yang ada di bumi sebagai objek-objek yang patut manusia renungkan. Apakah tidak engkau perhatikan bagaimana unta diciptakan, …bagaimana gunung dipancangkan dan bagaimana bumi dihamparkan (88:17 ). Demikian juga pantas untuk dijadikan objek pengkajian manusia bagaimana bumi yang mati (tandus), kemudian denga air hujan yang jatuh dari langit Allah hidupkan kembali dengan cara menumbuhkan biji-bijian yang hasilnya kita makan. Demikian juga dengan kebun-kebun yang tumbuh di permukaan bumi setelah disuburkan dengian air yang memancar dari mata air-mata air yang ada di sana, sehingga banyak buah dihasilkan sebagai bahan pangan manusia (36:33-35). Begitupun kita diminta untuk memperharhatikan perkembangan janin dalam rahim ibu (23:14) dan bagaimana Allah membentuknya sebagaimana yang Ia suka (3:6 ), dan banyak lagi objek ilmu yang dapat kita temukan di bumi ini. Pendek kata semua objek yang ada di dalamnya dari mulai benda-benda mineral, tumbuhan, hewan dan manusia, semuanya adalah objek yang sah dari ilmu pengetahuan kita.

Di luar objek-objek alamiah yang kasat mata, al-Qur’an juga meminta kita untuk merenungkan apa-apa yang ada di balik fenomena alam, atau objek-objek metafisik. Kita diminta untuk merenungkan siapakah yang telah menciptakan langit dan Bumi? (14:19), siapakah yang telah menggiring awan hujan dan menyusunnya bertumpuk-tumpuk? (24:43 ), siapakah yang mengisi sumur-sumur kita setelah mereka kering? (Q: ), dan siapa yang menundukkan mata hari dan bulan untuk kepentingan manusia (14:33 )dan banyak lagi ayat serupa itu. Semuanya harus bahan perenungan dan penilitian kita. Tentu saja ayat-ayat tersebut di atas, menunjukkan dengan jelas kepada kita, bahwa di balik fenomena alam yang sangat mengagumkan itu ada “aktor agung” yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi di alam ini, yang kita sebut Allah, Tuhan semesta alam.

Selain Allah, al-Qur’an juga menyingkapkan adanya makhluk-makhluk hidup yang ada bukan saja di bumi ini, tetapi juga makhluk-makhluk yang ada di langit, yang semuanya dikatakan “bertasbih kepada-Nya.” (22:18 ), seperti malaikat, yang selalu bertasbih dan mensucikan Allah (2: 30), jinn yang dicipta dari lidah api (55:15) dan juga “Setan yang diutus Allah kepada orang-orang kafir” (19:83 ); tentang “roh (rûh) manusia yang ditiupkan Tuhan pada manusia,” yang tentunya adalah gaib bagi manusia dan digambarkan tidak akan musnah dengan kematian bahkan akan terus hidup untuk mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatannya selama di dunia ini, maka sebesar apapun kebaikan kita pasti akan diperlihatkan, demikian juga sebesar apapun kejahatan kita akan diperlihatkan di sana (99:7-8); dan tentang alam akhirat yang tentunya ghaib bagi manusia, lengkap dengan “sorga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,” (3:15) yang luasnya sesesar langit dan bumi dan dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa” (3:133) dan neraka yang baranya terdiri dari manusia dan batu-batuan,” yang dijanjikan bagi orang-orang kafir” (2:24). Yang meranik juga adalah pernyataan al-Qur’ân, yang menyatakan bahwa bukan hanya makhluk-makhluk yang hidup saja yang mampu bertasbih, tetapi juga entitas-entitas yang biasa kita sebut sebagai makhluk mati (inorganik). Ini berarti bahwa di balik semua benda-benda alami ada kekuatan spiritual yang bertanggung jawab atas semua aktivitasnya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan al-Qur’an, objek-objek pengetahuan manusia tidak terbatas hanya pada objek-objek fisik saja—yang membentang dari alam semesta sampai diri manusia—tetapi juga entitas-entitas metafisik, yang tak nampak pada mata kita, tetapi yang telah bertanggung jawab atas segala apa yang terjadi pada entitas-entitas fisik yang dapat kita jumpai di alam semesta.

Selain objek-objek yang telah disinggung di atas, al-Qur’an juga meminta kita untuk memperhatikan apa yang terjadi pada bangsa-bangsa yang telah mendahului kita. Dengan kata lain kita diajak al-Qur’an untuk memperhatikan sejarah, sebagai pelajaran. Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat dari orang-orang sebelum mereka, padahal mereka lebih dahsyat kekuatannya (30:9; 35:44; 40:21) Menurut al-Qur’an, sejarah perlu kita jadikan objek penelitian kita, karenadi dalamnya ada pelajaran (‘ibrah) dan petunjuk (hidayah) bagi kita yang hidup sesudahnya. Menurut Sayyed Hossein Nasr, pengkajian sejarah yang disebutkan dalam al-Qur’an bukan semata-mata ceritera masa lalu saja, tetapi adalah peringatan agar hal serupa tidak terjadi pada diri kita, karena kalau kita lengah, maka sifat-sifat buruk orang seperti Fir’aun dsb. Tidak mustahil akan menjadi milik kita, dan nasib yang menimpa mereka juga akan menimpa diri kita. Sementara itu al-Qur’an menanyakan, “tidakkah mereka jadikan petunjuk betapa banyak umatsebelum mereka yang kami binasakan?” (32:26). 

4. Alat-alat Ilmu 
Sejauh ini kita baru berbicara tentang objek-objek pengetahuan kita. Pertanyaan berikutnya dengan apa kita bisa mengetahui objek-objek tersebut? Seperti telah kita singgung di atas, manusia diminta untuk merenungkan begitu banyak objek ilmu, tetapi objek ilmu yang begitu banyak dan beragam tersebut, tidak mungkin dapat kita ketahui kalau kita tidak punya (atau diberi) alat-alat untuk mengetahuinya. Maka pertanyaannya sekarang adalah alat-alat apakah yang Allah berikah kepada kita, menurut perspektif al-Qur’an. Dalam salah satu ayat dinyatakan bahwa “manusia terlahir dalam keadaan tdak mengetahui sesuatu apapun, maka (agar manusia mengetahui sesuatu) Allah menciptakan bagi manusia pendengaran (al-sam’), penglihatan (al-abshâr) dan pengertian (al-af’idah)” (16:78 ). Tentu saja pendengaran adalah kemampuan untuk mendengar yang harus direalisasikan dengan alat indera telinga (udzun/âdzân), penglihatan dengan mata (‘ayn/a’yun), dan pengertian dengan hati (qalb/qulûb). Ini adalah tiga alat yang seringkali disinggung dalam al-Qur’an, dengan mana manusia dimungkinkan untuk mengetahui alam sekitarnya (melali pendengaran dan penglihatan) dan aalam-alam yang lebih tinggi yang dapat diketahui lewat hati (qalb).

Dengan penglihatan kita bisa mengetahui keradaan dari hampir semua benda-benda fisik, dari mulai langit dan alam semesta yang luas, sampai kepada makhluk-makhluk kecil yang ada di hadapannya. Dengan mata yang diciptakan sebagai alat penglihatan, maka manusia telah melakukan pengamatan (observasi) yang seksama tentang alam fisik ini, dan terciptalah berbagai disiplin ilmu fisika, dari mulai astrofisika (hasil pengamatan terhadap langit dan bintang-gemintang), meteorolgi (hasil pengamatan terhadap objek-onjek yang ada antara langit dan bumi), kimia (hasil pengamatan terhadap unsur-unsur materi), fisika (hasil pengamatan terhadap materi, bentuk, ruang, waktu dan gerak), mineralogi (hasil pengamatan terhadap batu-batuan, logam dan benda-benda cair), botani (hasil pengamatan terhadap tumbuh-tumbuhan), zoology (hasil pengamatan terhapa hewan), anatomi (hasil pengamatan terhadap tubuh manusia) dan psikologi (hasil pengamatan terhadap aktivitas mental manusia).
Melalui telinga maka kita bisa memperoleh informasi yang penting yang tidak bisa diperoleh lewat penglihatan. Kalau dengan melalui penglihatan kita bisa mengerti ayat-ayat kawniyyah, maka melalui pendengaran inilah maka kita bisa mengerti dan memahami ayat-ayat qawliyyah, berupa ayat-ayat al-Qur’an, hadits dan kitab-kitab penting lainnya. Kalau tulisan bisa dicerap melalui penglihatan, maka kata-kata bisa dicerap lewat pendengaran. Pernyataan-pernyataan Nabi, tentu dapat ditangkap melalui pendengaran, demikian juga kuliah-kuliah seorang guru dapat ditangkap melalui pendengaran.

Kalau mata bisa mengamati objek-objek fisik, dan telinga untuk mencerap makna kata-kata, maka dengan alat apakah kita bisa memahami objek-objek metafisik? Seperti dikemukakan di atas, bahwa agar manusia bisa memahami objek-objek ilmu, maka Allah menciptakan indera (disimbolkan dengan pendengaran dan penglihatan) dan hati (disimbolkan dengan fu’âd dan qalb). Sementara jelas, bahwa indera dimaksudkan untuk menangkap objek-objek indrawi, maka nampaknya hati nampaknya dimaksudkan untuk menangkap objek-objek yang non-fisik. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa salah satu fungsi hati (qalb) adalah untuk melakukan penalaran (ya’qilûn) (22:46) yakni penalaran logis, yang intinya “mengambil kesimpulan tentang yang belum diketahui dari yang sudah diketahui.” Misalnya mengamati fenomena alam untuk kemudian menyimpulkan adanya sang Pencipta di balik itu semua (14:19), atau setelah merenungkan betapa langit dibangun tanpa tiang, (31:10 ) maka kita menyimpulkan pastilah ada seorang yang maha kuasa dan maha kuasa yang telah melakukannya.

Di tempat lain al-Qur’an juga menyinggung fungsi lain dari qalb yaitu untuk memahami (yafqahu). Memahami bisa berarti tertangkapnya maksud dari sebuah ungkapan atau kalimat, yang tentunya tidak bisa semata-mata ditangkap oleh mata atau telinga. Mata bisa melihat, tetapi yang mampu memahami bukanlah mata itu sendiri, melainkan hati. Dalam tradisi Islam, kata fiqh berarti pemahaman, yakni pemahaman tentang agama, seperti tercermin dalam kata “tafaqqahu fi al-din,” yakni memahami ajaran agama. Demikian juga bukan pendengaran yang sebenarnya bisa memahami makna sebuah ungkapan atau kalimat, melainkan hati (qalb). 
Selain itu, hati juga berfungsi untuk melakukan perenungan (tadabbur). “Al-Qur’an menyatakan: “mereka punya hati untuk melakukan perenungan” (22:46 ). Dengan ini maka kita mengerti bahwa salah satu fungsi hati adalah melalukan perenungan (refleksi) misalnya terhadap ayat-ayat Allah, sehingga dengan itu hati kita bisa melihat dan memahami apa yang tidak bisa dicerap melalui indera. Dengan ini saya melihat bahwa hati berfungsi ganda bisa sebagai akal, yang melakukan penalaran, bisa juga sebagai intuisi yang bisa menembus misteri alam menuju sang Kebenaran. 

Selain melakukan penalaran logis, hati manusia juga bisa menangkap hal-hal lain yang lebih bersifat spiritual atau immaterial daripada yang bisa dilakukan oleh nalar dan pikiran. Menurut al-Qur’an, hati dapat digunakan untuk berzikir kepada Allah, seperti dinyatakan al-Qur’an, “tidaklah mampu orang yang Kami kunci hatinya untuk mengingat kami (‘an dzikrina),” ( 18:28), untuk menerima hidayah, seperti pernyataannya “barangsiapa beriman maka Allah memberi petunjuk kepada hatinya” (64:11), dan bahkan untuk menjadi tempat bagi malaikat Jibrîl (al-Rûh al-Amîn) ketika menyampaikan wahyu dari Allah, seperti diungkapkan al-Qur’an, “Dan sesungguhnya (al-Qur’an) ini benar-benar diturunkan Allah, Tuhan seluruh alam, yang bibawa turun oleh al-rûh al-amîn (Jibril), ke dalam hatimu agar engkau termasuk orang yang diberi peringatan (26:192-4). Inilah alat-alat ilmu yang diberikan Allah kepada manusia yang disinggung dalam al-Qur’an: telinga, mata dan hati, dengan mana manusia dibimbing ke arah menemukan sang Kebenaran. 

5. Metode Ilmiyyah
Setelah bicara tentang objek-objek ilmu dan alat-alat yang dipakai untuk meneliti dan memahami objek-objek tersebut, maka pertanyaannya berikutnya adalah bagaimana alat-alat tersebut mampu menjalankan fungsinya tersebut. Adalah menarik untuk menyimak pernyataan al-Qur’an yang berulangkali menyatakan, “mereka punya mata, tetapi mereka tidak melihat, mereka punya telinga, tapi mereka tidak mendengar, mereka memiliki hati (qulûb), tapi tidak melakukan penalaran (7:179 ). Menurut saya ayat-ayat tersebut bukan hanya sebagai kritik, tetapi juga menyampaikan pesan bahwa yang dimaksud mendengar (yasma’ûn), melihat (yubshirûn) dan menalar (ya’qilûn), bukanlah asal mendengar, melihat dan berfikir. Karena kalau yang dimaksud adalah sembarang mendengar, melihat dan berfikir, maka tak ada seorangpun yang tidak mendengar, melihat dan berfikir, dan karena itu tak mungkin mereka dikatakan tidak mendengar, melihat dan berfikir. Karena selama telinga, mata dan hati itu sehat, maka pastilah kita semua melakukannya.

Ketika al-Qur’an mengatakan “mereka punya telinga tetapi tak mendengar, punya mata tetapi tidak melihat,” maksudnya adalah tidak melihat dan mendengar dengan sungguh-sungguh atau sebagaimana mestinya, yakni dengan cara/metode yang benar. Al-Qur’an seringkali menggunakan kata “yanzhuru” ketika kita diperintah untuk melihat dengan sungguh-sungguh atau merenung, seperti dalam ayat’ “apakah engkau tidak perhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung-gunung dipancangkan dan bumi dihamparkan.” (88:17). 

Tetapi, al-Qur’an menggunakan kata “tara” ketika kita diminta memperhatikan apa yang ada di balik fenomena alam. “Tidakkah engkau lihat (alam tara), siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan untukmu hujan dari langit?”(27:60). “Tidakkah engkau lihat bahwasanya Allah adalah pencipta langit dan bumi.” (14:19), “Apakah tidak kau lihat (renungkan) ketika sumurmu menjadi kering di waktu pagi, siapakah yang menjadikannya melimpah?” (67:30). 

Jadi yang dimaksud melihat di sini adalah “melihat dengan penuh perhatian,” sehingga tidak ada yang terluput dari pengamatan kita. Dalam tradisi ilmiah Islam, cara melihat seperti ini disebut metode observasi atau metode eksperimen (tajrîbî). Dan metode ini digunakan secara luas dalam pengamatan mereka terhadap fenomena alam baik yang menyangkut bidang astronomi, fisika, biologi, psikologi dan sebagainya. Al-Qur’an menanyakan siapakah yang telah menggeser bayang-bayang, ketika Allah bisa membuatnya diam kalau Ia mau” (25:45 ).

Adapun hati (qalb atau fu’âd) merupakan organ ilmu yang bersifat spiritual. Kalau dilihat bahwa salah satu fungsi hati adalah penalaran, maka saya cenderung mengatakan bahwa hati sebagai alat untuk berfikir penalaran (ya’qilûn) menyebutnya akal, walaupun al-Qur’an sendiri tidak pernah menggunakan kata “akal” dalam bentuk kata benda. Adapun cara kerja akal adalah dengan melakukan penalaran logis (logical reasoning) yakni menarik dari fakta (misalnya fenomena alam yang menakjubkan) atau pernyataan-pernyataan(premis) yang telah diketahui, sebuah kesimpulan yang sebelumnya tidak diketahui. Misalnya, setelah memperhatikan “penciptaan langit dan bumi dan turunya hujan dari langit” (29:44) yang kita amati melalui indera (terutama mata), maka kita menyimpulkan bahwa di sana (di balik fenomena tersebut) mesti ada suatu Dzat yang maha Tinggi yang telah menciptakan (khalaqa) dan membuat (ja’ala) hal itu terjadi. Atau setelah menyimak pertanyaan “ketika sumurmu kering di waktu pagi, siapakah yang telah membuatnya melimpah?” (67:30), maka kita menyimpulkan bahwa mesti ada Wujud yang Maha Kuasa yang telah melakukan itu semua, yang kita sebut Tuhan. Banyak contoh dalam al-Qur’an di mana kita bisa melakukan penalaran akal. “Demikianlah Allah menghidupkan yang mati dan menunjukkan tanda-tanda kekuasaan (ayat-ayat)-Nya, agar kamu berfikir/melakukan penalaran (la’allakum ta’qilûn) (2:73), “Mengapa engkau menyuruh orang lain berbuat baik, sedangkan kamu sendiri melupakan dirimu… mengapa tak kau renungkan (afalâ ta’qilun)?” (2:44), dan “sungguh telah Kami jelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Ku agar kamu renungkan” (57:17).

Fungsi lain dari akal (hati yang melakukan penalaran) adalah “berfikir” atau menurut istlah al-Qur’an tafkkur, yang cara kerjanya mirip sekali dengan melakukan penalaran (ya’qilun), misalnya ayat yang mengatakan: “demikianlah Allah menjelaskankan kepada kamu ayat-ayat Allah agar kamu bertafakkur” (la’allakum tatafakkarûn) (2:219), dan “Apakah sama (keadaan) orang yang buta dan orang yang melek, tidakkah kamu fikirkan?” (6:50). Jelas “tafakkur” di sini, bukan sembarang berfikir tetapi berfikir berdasarkan penalaran. Metode (cara) penalaran yang seperti ini dalam tradisi Islam disebut “metode demostratif” (burhânî). 

Itu adalah cara-cara bekerja hati, adapun fungsi utama hati adalah mendapat petunjuk (hidâyah). Adapun cara hati untuk memperoleh “hidayah” berbeda dari cara indera dan akal, karena cara hati memperoleh hidayah ini akan melibatkan amal-amal spiritual , seperti berzikir (13:28) dan membersihkan hati dari macam-macam penyakit (maradh) yang akan menghalangi datangnya hidayah ke dalam hati. Dengan demikian hati kita menjadi sehat (al-qalb al-salim) (26:89; 37:84; 50:33). 
Dalam perkara pengetahuan hati (intuisi), nampaknya pelaku utama bukanlah manusia tapi Allah S.W.T. Di dalam al-Qur’an banyak pernyataan yang mengatakan bahwa Allah sang pemberi hidayah. Al-Qur’an bertanya, “siapakah yang akan memberi petunjuk selain Allah, tidakkah kau diberi peringatan?” (45: 23), “siapakah yang bisa memberi petunjuk kepada seseorang yang telah Allah sesatkan?” (30:29), jawabnya tidak ada, kecuali Allah. “Allah menyesatkan orang yang Ia kehendaki, dan memberi petenjuk kepada orang yang Ia kehendakinya, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (14.4) dan “sesungguhnya bukan engkau (ya Muhammad) yang member petunjuk kepada siapa yang kau cintai, tapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Ia kehendaki.” (28:56). Di sini nampaknya, tugas utama manusia hanyalah mempersiapkan diri, (isti’dâd), melalui dzikir dan pembersihan diri. 

Meskipun pada hakikatnya memberi petunjuk atau menyesatkan manusia adalah hak istimewa Allah, tetapi tidak berarti manusia tidak punya andil atau pilihan apapun. Karena dalam al-Qur’an Allah member indikasi-indikasi siapa-siapa saja yang akan Ia beri petunjuk, dan siapa yang tidak. Sebagai contoh, di satu sisi dikatakan bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk pada “orang-orang yang fasik” (2:62; 63:6), “orang-orang zhalim” (2:25; 3:86), “orang-orang kafir” (2:264; 5:76), “orang-orang yang berkhianat” (12:52), “para pendusta” (39:3; 40:28), dan lain-lain. Tapi di sisi lain, Allah juga mengatakan akan memberi petunjuk kepada “orang yang mengikuti dan mencari ridha-Nya ke jalan yang selamat,” (5:16), “orang-orang yang telah diberi ilmu,” (34:6), “orang-orang yang bertaubat” (42:13) dan “orang-orang yang beriman dan mengikuti agama” (64:11; 4:175).

Dengan demikian jelas kepada kita bahwa hidayah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang di dalam hatinya terdapat sifat-sifat “buruk” yang tersebut di atas: fasik, kufr, zhalim, khiyanat, dan dusta, yang disebut dalam al-Qur’an sebagai penyakit (maradh)(2:10). Sifat-sifat buruk ini pada gilirannya bisa dipicu oleh hal-hal lain, seperti “kecintaan yang berlebihan terhadap dunia disbanding akhirat” (16:107), “mengikuti hawa nafsu” (28:50), “kesombangan (mutakabb ir) dan “kesewenag-wenangan” (jabbâr) (40:35), dan sifat-sifat lainnya, seperti kemunafikan (nifâq) dan sifat ragu-ragu (rayb) di hati mereka. 

Dengan ini jelas bahwa tugas manusia dalam memperoleh hidayah ini adalah melakukan persiapan (isti’dâd) dengan cara membersihkan hati atau jiwa mereka dari segala penyakit, yang disebut dalam al-Qur’an tathahhur al-qulûb (5:41) atau yang dikenal dalam tasawuf dengan tazkiyat al-nafs. Selanjutnya kita dianjurkan untuk melakukan hal-hal yang mendorong diberikannya hidayah, seperti bertaubat, mencari keridhaan Allah, menuntut ilmu dan mempertebal iman. Barulah, setelah itu serahkan semuanya kepada kehendak Allah. Kalau Ia berkenan maka mudah bagi Allah untuk member hidayah kepada siapa yang Ia kehendaki. 

Begikutlah kemudian hidayah datang sebagai penyingkapan kedalam hati (mukâsyafah), dalam berbagai bentuknya: seperti “percakapan” Alah langsung seorang hamba, seperti dalam kasus Nabi Musa A.S. (4:164), “pengajaran langsung dari Allah,” seperti dalam kasus Nabi Adam A.S. (2:31) atau dengan turunnya malaikat (al-rûh al-amîn) ke dalam hati, seperti dalam kasus nabi Muhammad S.A.W. (2:97; 26:194).

Metode yang diperikan di atas—pembersihan hati dan pebinaan mental dengan amal-amal yang terpuji sampai datangnya petunjuk atau ilmu ke dalam hati seseorang dalam bentuk mukâsyafah—dalam tradisi ilmiah Islam lazimnya disebut metode intuitif (‘irfânî).

Epilogue:

Sebenarnya sampai di sini apa-apa yang prinsipil dalam pistemologi Qur’ani telah kita uraikan. Namun ada beberapa fakta menyangkut epistemologi yang penting untuk dikemukakan sebagai komplemen kepadanya. Setidaknya ada dua poin yang akan didiskusikan di sini, satu berkenaan dengan “ilmu perolehan” (the Acquired Knowledge) dan Ilmu Yang Diwahyukan (the revealed Knowledge) dan dua berkenaan dengan “Ilmu Hushûlî” dan “Ilmu Hudhûrî.” Mari kita mulai dengan yang pertama:

1. Acquired Knowledge dan Revealed Knowledge
Kata “acquire” menurut kamus Webster adalah “memperoleh atau mendapatkan sesuatu melalui usaha atau tindakan sendiri” sehingga “acquired knowledge” berarti ilmu yang diperoleh oleh diri sendiri dari luar. Dalam diskusi filsafat yang dimaksud “akal perolehan (al’aql al-mustafâd)” adalah akal yang telah mampu memperoleh ilmu dari akal kesepuluh atau akal aktif, yang sering diidentikkan dengan malaikat Jibril.” Sedangkan “revealed knowledge” adalah pengetahuan yang “diwahyukan Allah ke dalam hati manusia.” Sekalipun kedua-duanya berasal dari Allah, dalam kasus “the acquired knowledge” manusia diberi peran aktif, sedangkan dalam kasus “the revealed knowledge” manusia bersikap pasif.

Dalam perspektif al-Qur’an, pada prinsipnya ilmu itu berasal dari Allah. Bahkan Allah sendiri mengatakan “Dialah yang mengajarkan dengan pena, mangajarkan manusia ilmu yang belum ia ketahui” (96:45). Demikian juga, “Dialah yang mengajar Adam (nenek moyang manusia) segala nama (ilmu)” (2:31). Dengan begitu,dapat disimpulkan bahwa baik ilmu perolehan maupun ilmu yang diwahyukan, keduanya berasal dari Allah. Hanya saja kadang ilmu diberikan secara langsung sebagai hadiah, atau diberikan “melalui usaha manusia” setelah sebelumnya Alah memberikan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana cara memperolehnya. Jenis ilmu yang pertama inilah yang kita sebut ilmu perolehan (the acquired knowledge) dan yang kedua ilmu yang diwahyukaan (the revealed knowledge).

a. Ilmu Perolehan (the Acquired Knowledge)
Ilmu perolehan, seperti telah disinggung di atas, merupakan ilmu yang diperoleh manusia dengan alat-alat yang telah Allah berikan, yaitu mata, telinga, dan akal (hati rasional), melalui metode eksperimen dan demonstratif. Ilmu-ilmu apa saja yang bisa kita bangun melalui observasi indera dan penalaran rasional, jawabnya tak pasti. Tapi kalau kita mau bercermin pada apa yang dicapai oleh para ilmuwan agung Islam pada masa kejayaannya, maka kita bisa melihat ilmu-ilmu apa saja yang telah mereka kembangkan dalam karya-karya mereka.

Dalam klasifikasi ilmu yang dibuat oleh Ikhwân al-Shafâ’ dan Ibn Sina (w. 1037), kita bisa mengetahui ilmu-ilmu apa saja yang bisa dihasilkan oleh observasi dan penalaran manusia. Perama ilmu dibagi ke dalam dua bagian: teoritis dan praktis. Teoritis dibagi ke dalam fisika, matematika dan metafisika. Di dalam karya mereka dijelaskan bahwa observasi indera manusia telah menghasilkan disiplin-disiplin ilmu, yaitu: 
• astrofisika, yang berhubungan dengan langit dan alam semesta, 
• meteorologi, yang berhubungaan dengan entitas-entitas yang ada di antara langit dan bumi, 
• fisika dasar, yang menyangkut ruang, waktu, gerak dan materi, 
• mineralogi, yang berkaitan dengan benda-benda mineral, seperti batu-batuan dan logam-logaman, 
• botani, yang berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan, 
• zoologi, yang berh ubungan dengan hewan, 
• anatomi, yang berhubungan dengan tubuh manusia, 
• kedokteran, yang berhubungan dengan kesehatan manusia, dan 
• psikologi, yang berhubungan dengan kejiwaan/mental manusia.

Sedangkan memalui penalaran rasional manusia bisa menghasilkan ilmu-ilmu matematika dan metafisik. Ilmu matematik memiliki beberapa cabang, misalnya 
• aritmetika, yang berhubungan dengan angka, 
• geometri, yang berhubungan dengan bentuk-bentuk dan ukuran ruang, 
• astronomi, yang berhubungan dengan peredaran matahari, bulan dan bintang-bintang, 
• musik, yang berhubungan dengan harmoni, dan 
• geografi, yang berhubungan dengan permukaan bumi, termasuk gunung-gunung, lembah, danau, laut dan pemukinan manusia. 

Sedangkan ilmu metafisika, memiliki beberapa cabang, seperti 
  • ontologi, yang mempelajari wujud secara umum, 
  • teologi, yang mempelajari tentang Tuhan, 
  • kosmologi, yang mempelajari alam raya dan strukturnya, 
  • antropologi, yang mempelajari hakikat manusia, dan 
  • eskatologi, yang mempelajari hari akhir, atau tepatnya mempelajari jiwa setelah bercerai dengan badan.
Semua disiplin ilmu yang tersebut di atas, biasanya disebut ilmu-ilmu rasional (al-‘ulûm al-‘aqliyyah), atau ilmu-ilmu filsafat atau hikmah. Dalam pandangan al-Qur’an, hikmah dipandang berasal (yakni diturunkan) oleh Allah kepada orang-orang yang dikehendakinya (2:269) di samping wahyu/k itab (4:113). Selanjutnya Allah menyatakan “barangsiapa diberi hikmah, maka ia dikaruniai kebaikan yang banyak” (2:269). Hikmah adalah kata lain dari filsafat, dan para filosof mengakui bahwa untuk memperoleh ilmu filsafat ini mereka harus berusaha keras, yang tentunya berbeda dengan para Nabi yang memperoleh ilmunya tanpa usaha, tetapi lebih sebagai hadiah dari Allah S.W.T.

b. Ilmu Yang Diwahyukan (Revealed Knowledge)
Kalau di bagian pertama kita membicarakan tentang ilmu perolehan yang melibatkan usaha manusia, dan ini kadang disebut hikmah, maka di bagian kedua ini kita akan berbicara tentang ilmu yang diperoleh sebagai “hidayah” dari Allah, yang bisa berupa wahyu (dalam kasus Nabi) atau ilham (dalam kasus para wali). Dan, kalau ilmu jenis pertama diperoleh lewat mengamatan indera dan penalaran akal, maka ilmu jenis kedua (the revealed knowledge) ini diperoleh lewat hati (qalb atau fu’âd), seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Berbicara tentang ilmu yang diwahyukan, al-Fârabî (w. 950) membaginya menjadi dua, kenabian kecil (lesser prophecy) atau yang mungkin bisa kita sebut “kewalian” (walâyah) dan kenabian besar (greater prophecy) atau yang biasa disebut “kenabian” (nubuwwah). Bnetuk kongkrit dari jenis ilmu jenis adalah “kitab ” (al-Qur’an), yang diturunkan sebagai “hidayah” bagi manusia, dan tentunya “karya-karya agung tasawuf” yang banyak ditemukan dalam khazanah dan warisan Islam. Adapun ilmu yang muncul dari mengkaji, memahami dan merenungkan kitab ini adalah apa yang disebut oleh Ibn Khaldun sebagai “ilmu-ilmu naqliyyah” (transmitted sciences) atau yang biasa kita sebut “ilmu-ilmu agama.”

Sebagai “hidayah” maka al-Qur’an telah menjadi sumber informasi yang luar biasa baik yang berhubungan dengan dunia nyata (zhâhir), maupun tersembunyi (bâthin) atau ghaib. Al-Qur’an telah memnjadi pusat perhatian, penelitian, pengkajian dan perenungan dari para sarjana (‘ulamâ’), dan dari sini muncullah disiplin-disiplin ilmu agama yang seperti disinggung oleh Ibn Khaldun meliputi bidang-bidang:
  • Ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an), yang meiputi banyak cabang seperti Qira’at, Asbab al-Nuzul, Makkiyyah dan Madaniyyah, Tafsir, dll.
  • Ilmu-ilmu Hadits (‘ulûm al-Hadits), yang meliputi antara lain ilmu dirayah dan riwayah, studi biografi (‘ilm al-rijâl), kriik Hadis (jarh wa al-ta’dîl), mukhtalaf al-hadits, dll.
  • Fiqh dan Ushul Fiqh, yang mengkaji tentang bagaimana tata-cara beribadah yang dideduksi (istinbâth) dari ayat-ayat al-Qur’an, dan metode atau prinsip-prinsip pendeduksian tersebut.
  • Ilmu Kalam (Teologi Islam), yang meruapak elaborasi rasional terhadap konsep Iman, dan
  • Tasawuf (‘ilm al-tashawwuf), yang merupakan buah pengalaman mistik/intuitif, dan elaborasi dari konep ihsân.
Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa sekalipun dikatakan bahwa al-Qur’an merupakan sumber utama ilmu-ilmu agama (al-’ulûm al-naqliyyah), tetapi al-Qur’an juga mempunyai kaitan yang erat dengan ilmu-ilmu rasional.(al-‘ulûm al-‘aqliyyah). Dan itu terjadi karena al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang persoalan-persoalan agama, tetapi juga berbicara, dan bahkan memberi penjelasan yang sangat bermanfaat berkenaan dengan fenomena alam. Misalnya saja pernyataan al-Qur’an bahwasanya “Allah menciptakan segala makhluk hidup dari air” (21:30), yang tentu saja merupakan informasi yang penting dalam bidang biologi, bahwa “langit dan bumi tadinya satu” (21:30), yang pentik untuk bidang astrofisika, bahwa “Allah selalu memperbaharui penciptaan” (55:29), bahwa janin melalui tahap-tahap evolusi yang rumit dalam rahim, dari mulai “saripati tanah, sperma (nuthfah), sesuatu yang melekat (‘alaqah), segumpal daging (mudhghah), tulang-belulang (al-‘izhâm), daging (lahm) dan terakhir bentuk yang lain berupa janin manusia (23:11-14), yang tentunya merupakan informasi yang penting dari sudut embriologi. 

Dengan ini jelas, bahwa al-Qur’an telah menjadi bukan hanya sumber utama ilmu-ilmu agama tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi ilmu-ilmu non-agama, atau rasional. Banyak buku telah ditulis mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan fenomena alam, atau yang dikenal dengan istilah “ayat-ayat kawniyyah” bahkan ada juga kitab tafsir yang khusus membahas tentang ayat-ayat kawniyyah tadi.

2. Ilmu-ilmu Hushûlî dan Ilmu-ilmu Hudhûrî

Sebagai penutup dari pengantar ini akan membahas sedikit tentang apa yang disebut sebagai ilmu-ilmu hushûlî (knowledge by correspondence) dan ilmu-ilmu hudhûrî (knowledge by presence). Sebenarnya cikal bakal semua ilmu adalah ilmu hudhuri, yakni ilmu yang berkenaan dengan diri (self-knowledge). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ilmu hudhûrî ini merupakan fondasi bagi semua ilmu, baik itu ilmu rasional maupun intuitif. Perbedaan yang paling fundamental antara ilmu hudhuri dan ilmu hushuli adalah bahwa yang pertama bersifat langsung (immediate) tanpa sebuah media apapun, sedangkan ilmu hushuli sangat tergantung pada media, apakah itu kata-kata, representasi atau symbol.

Pada prinsipnya boleh dikata bahwa semua ilmu yang telah disampaikan dengan kata-kata atau konsep itu adalah ilmu hushûlî, tak peduli apakah ia berasal dari pengalaman inderawi, rasional atau intuitif. Contoh semua karya tulis para sufi, baik dalam bentuk prosa maupun puisi, termasuk pada ilmu hushûlî, sekalipun ia berasal dari pengalaman batin mereka. Demikian juga semua pengetahuan yang dirasakan secara langsung oleh si subjek, apakah ia pengalaman inderawi atau intuitif, semuanya bisa dikatakan sebagai ilmu hudhûrî. Contoh rasa sakit yang kita rasakan kertika kita terluka, dan bukan ungkapan rasa sakit yang kita ucapkan pada kawan kita, termasuk ilmu hudhûrî, dan tentu saja pengalaman batin para Nabi dan para wali, pada saat mengalaminya adalah ilmu hudhûrî.

Satu lagi karakteristik dari ilmu hudhuri adalah bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan cara hudhûrî, tidak bisa terkena kategori “salah” atau “benar.” Kategori salah dan benar hanya berlaku bagi ilmu-ilmu hushuli, karena di sini kita dituntut adanya korespondensi antara yang diungkapkan dan yang dialami. Belum tentu yang diungkapkan bisa benar-benar mewakili apa yang dialami. Jalâl al-Dîn Rûmî (w. 1273), yang dikenal sebagai penyair cinta paling besar pernah berkata: 
“Seribu satu penjelasan tentang cinta telah aku berikan, 
tetapi ketika cinta itu sendiri dating kepadaku, 
aku malu dengan semua penjelasan itu.” 

Sedangkan dalam ilmu hudhûrî yang disifati dengan pengetahuan tentang diri (self-knowledge) di mana subjek dan objek adalah sama, yaitu diri sendiri, kesenjangan itu tidak ditemukan. Di sini apa yang kita ketahui adalah sama dengan adanya, dari sinilah muncul istilah “to know is to be.” Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS