TUHANNYA PARA SUFI

Oleh: Prof. Mulyadi Kartanegara
Seperti halnya konsep wujud, konsep Tuhan para sufi khususnya yang hidup paska Ibn 'Arabi (w. 1240)--juga akan terasa asing bagi telinga kita. Meskipun begitu, konsep Tuhan mereka mungkin bermanfaat untuk meluaskan cakrawala pemahaman kita, dan bahkan bisa menjadi pemersatu bagi konsep Tuhan para teolog (Mutakallimun) dan filosof Muslim (falasifah), yang kelihatan begitu bertolak belakang, seperti yang tercermin dalam kitab al-Ghazali (w. 1111), Tahafut al-Falasifah.

Para sufi falsafi melihat Tuhan dalam dua wajah. Tuhan sebagai zat atau esensi yang transenden dan Tuhan yang diekspresikan dalam sifat-sifat atau nama-nama-Nya. Tuhan sebagai zat amatlah tingginya. Ia tidak bisa dilukiskan bagaimana dan tidak ada pengetahuan positif apapun tentangnya, kecuali keberadaan-Nya. Apa yang dapat kita ketahui tenang-Nya adalah bahwa Ia tidak sama dengan apapun selain-Nya (laysa kamitslihi syai') dan bahkan tiada yang setara dengan-Nya suatu apapun (walam yakun lahu kufuwwan ahad). Inilah yang oleh para filosof disebut teologi negatif, di mana manusia hanya mengetahui Tuhan secara negatif bahwa Ia berbeda dengan apapun yang dapat kita bayangkan. 

Ini terjadi seperti itu, menurut para sufi--khususnya Ibn 'Arabai dan para pengikutnya--karena dalam level ini Tuhan belum lagi menjadi entitas (ghayr muta'ayyan). Pada tingkat ini Tuhan bahkan belum lagi bersifat personal dan belum pula memiliki nama termasuk Allah sekalipun. Tuhan pada level ini belum mempunyai kaitan apapun dengan alam. Inilah yang dimaksud dengan ayat al-Qur'an yang mengatakan "inna Allaha ghaniyy 'an al-'alamin" yang artinya, "sesungguhnya Allah independen dari segala alam." Pada tahap ini, maka Allah tidak memikirkan yang lain kecuali dirin-Nya sendiri.

Inilah wajah Tuhan pada tingkat esensi atau zat. Dalam hal ini, para sufi berbagi konsep dengan para filosof, tetapi para sufi juga meiliki konsep Tuhan pada level berikutnya, yaitu kevel sifat atau tahap "ta'ayyun" (proses menjadi entitas). Pada tahap ini, Tuhan tidak lagi sebagi zat yang tidak dapat didekati, tetapi sudah bersifat personal dan bisa dikenal secara lebih positif. Dia telah menyebut diri-Nya Allah dan nama-nama lainnya yang dikenal dengan sebutan al-asma' al-husna atau "nama-nama yang indah." Dengan kata lain, Ia telah memiliki identitas. Konsep Tuhan pada tahap inilah yang pada umumnya kita kenal, yaitu Tuhan yang memiliki sifat-sifat tertentu. Konsep Tuhan seperti inilah yang biasanya dipahami dalam wacana teologis, tetapi bukan Tuhannya pada filosof. 

Tidak seperti pada tahap "ghayr muta'ayyan" di mana Tuhan tidak punya hubungan apapu dengan manusia, pada tahap atau level ini--level ta'ayyun--Dia telah membangun hubungan yang positif dan personal dengan manusia. Ia telah bisa menyapa manusia dengan seruan "wahai manusia" dan telah menyebut diri-Nya "Aku" atau "Kami" dan "kamu sekalian" untuk menyeru manusia yang diajak-Nya bicara. Pada tahap yang disebut para sufi sebagai "ta'ayyun" (proses menjadi entitas/sesuatu dari bukan sesuatu) inilah kita bisa mengenal Tuhan secara lebih positif lewat nama-nama atau sifat-sifat-Nya. Dengan kata lain, Tuhan pada tahap ini bukan lagi Tuhan yang jauh dan terpencil dari dunia dan kehidupan manusia, melainkan Tuhan yang akrab yang "mengetahui bahkan bisikan hati manusia" dan "yang lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri."

Meskipun pada tahap ini, konsep Tuhan para sufi mirip dengan konsep para teolog, namun sesungguhnya konsep mereka melangkah lebih jauh melampaui batas-batas yang bisa dibayangkan oleh para teolog. Di sini para sufi memandang bahwa sifat-sifat atau nama-nama Tuhan ini punya kaitan yang tidak bisa dipisahkan dari alam, terutama dengan manusia. Betapa tidak, karena menurut mereka, sifat-sifat Tuhan tersebut tidak lain daripada "prototipe" atau "arkrtipe" dari apapun yang ada di alam semesta. Mereka adalah semacam "ide-ide Platonik" yang bayang-bayangnya terdapat di alam semesta. Mereka laksana "bentuk" terhadap materi, atau jiwa, sebagai inti manusia, terhadap tubuhnya. Apapun yang ada di alam semesta adalah adalah manifestasi-manifestasi (tajlliyat) dari sifat-sifat Tuhan tersebut. Tidak ada suatu makhluk apapun di alam semesta ini yang tidak memiliki prototipenya dalam sifat-sifat Tuhan.

Itulah sebabnya banyak para sufi yang menyebut alam semesta sebagai cermin, dengan mana Tuhan melihat "gambar" diri-Nya. Setiap tingkat eksistensi makhluk mencerminkan sifat tertentu Tuhan. Semakin tinggi tingkat eksistensi suatu wujud, semakin banyak sifat Tuhan yang dapat dipantulkannya. Dan ini berpuncak pada diri manusia, yang merupakan makhluk yang terbaik bentuknya (ahsan al-taqwim). Pada dirinya--sebagai mikrokosmos--terpantul seluruh sifat Tuhan, ketika ia telah mencapai tingkat kesempurnaannya, yakni ketika ia mencapai derajat manusia palipurna (al-insan al-kamil).

Bagi saya konsep sufi yang memandang Tuhan dalam dua "wajah"--sebagai zat dan sifat--dapat menjadi solusi terhadap pertikaian konseptual antara kaum teolog (Mutakallimun) dan para filosof yang tak kinjung padam. Ini karena konsep Tuhan yang "jauh" dan "dingin" dari para filosof, di mana Tuhan dikatakan "tidak memikirkan yang lain kecuali diri-Nya" tak lain daripada konsep Tuhan para sufi pada tahap zat, sedangkan konsep Tuhan yang "hangat" dan "akrab" seperti yang dipertahankan oleh pata teolog, tak lain daripada Tuhannya para sufi pada tahap sifat (ta'ayyun), di mana Ia menyingkapkan identitas diri-Nya kepada manusia.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS