TAUHID SUFISTIK

Oleh: Prof. Mulyadi Kartanegara
Tauhid atau kesesaan Tuhan telah ditafsirkan secara berbeda oleh para ahli. Karena itu, maka kita dapatkan tauhid dalam perspektif teologis, seperti yang tercermin dalam konsep "tanzih al-shifat" kaum Mu'tazilah; tauhid dalam perspektif filosofis yang menyatakan bahwa pada diri Tuhan esensi dan eksistensi adalah satu dan sama (identik). Demikian juga kita peroleh konsep tauhid dalam perspektif sufistik. Yang terakhir inilah yang akan menjadi perhatian utama kita dalam bagian ini. 


Tidak seperti umumnya kita yang mengartikan kalimat "la ilaha illallah" sebagai "tiada Tuhan selain Allah," para sufi mengartikan kata "ilah" sebagai ralitas, sehingga kalimat syahadat itu bermakna "tidak ada realitas (haqiqah) yang sejati kecuali Allah." dari sini mereka memahami bahwa hanya Allah-lah yang real, yang hakiki, yang benar-benar ada secara mutlak, sedangkan yang lainnya adalah semu dan nisbi. Ketika dikaitkan dengan wujud, maka Tuhan adalah satu-satunya yang betul-betul ada; Dialah Realitas Terakhir, yang berarti wujud yang paling sejati. Karena itu terdapat identitas antara yang Realitas dengan Wujud. Ketika dikatakan Dia adalaha Realitas, itu berarti Dia adalah satu-satunya yang wujud secara hakiki. Dalam konteks inilah para sufi berbicara tentang kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud) di mana dinyatakan bahwa tiada yang wujud selain Allah. 

Pernyataan tiada yang wujud kecuali Dia, bukanlah sekedar permainan kata-kata atau basa-basi, tetapi betul-betuk dihayati dan diyakini sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Bahkan dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi akan kehilangan kesadaran akan keberadaan dirinya. Ia menafikan keberadaan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan fana'. Setelah itu hanya kehadiran Tuhan-lah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat atau kehadiran-Nya. Inilah yang mereka sebut baqa', di mana seorang sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagi satu-satunya wujud yang hakiki. Dalam keadaan seperti inilah, al-Hallaj (w. 922 M.) menyatakan "ana al-Haqq," yang berarti aku adalah Kebenaran Kreatif (Tuhan). Inilah inti tauhid sufistik.

Tanpa mengetahui maksud dan latarbelakang munculnya pernyataan al-Hallaj di atas, salah paham terhadapnya sudah bisa dibayangkan. Dalam kenyataan sejarah, al-Hallaj telah membayar pernyataannya itu dengan nyawanya. Orang menuduhnya telah kafir karena pernyataannya itu, sedangkan ucapannya itu ditafsirkan sebagai kesombongan yang tak terampunkan, karena ia telah mengadakan klaim ketuhanan. Ia telah mengaku dirinya sebagai Tuhan. 

Tapi orang-orang yang mengerti apa arti kata yang sesungguhnya dari ungkapan tersebut, justeru akan melihat di dalamnya, sebuah ungkapan kerendahan hati (tawadhdhu'). Jalal al-Din Rumi (w. 1273), misalnya, menafsirkan pernyataan al-Hallaj tersebut dengan mengatakan: "Pernyataan aku Tuhan adalah pernyataan yang paling rendah hati, karena dalam hal ini al-Hallaj menafikan wujud dirinya yang nisbi di hadapan wujud Tuhan yang hakiki dan mutlak. Dalam pandangannya, hanya dia yang benar-benar wujud, dalam arti wujud yang hakiki, yang betul-betul ada, sedangkan wujud alam semesta ini adalah nisbi dan hanya merupakan bayang-bayang dari-Nya. Sebaliknya pernyataan "aku hamba" dan "Engkau tuan," dipandang oleh Rumi sebagai ungkapan yanag justeru menyombongkan diri, karena dalam hal ini sang sufi telah mengafirmasi wujudnya yang nisbi sebagai yang berhadap-hadapan dengan wujud yang mutlak, padahal keberadaannya tidak berarti apa-apa di hadapan Wujud yang Mutlak tersebut. 

Pendangan tauhid para sufi yang seperti ini telah melahirkan konsep-konsep wujud yang berbeda-beda, sekalipun jauh di lubuknya yang terdalam terdapat kesatuan pengertian, kalau saja kita bisa melepaskan diri kita dari perbedaan-perbedaan formalistik doktrin-doktrin tersebut. Dengan demikian maka doktrin sufi yang kita kenal sebagai "ittihad" (kesatuan mistik), di mana seorang manusia telah berhasil melalui perjalanannya yang panjang bersatu dengan Tuhannya, atau doktrin "al-hulul" di mana Tuhan digambarkan mengambil tempat dalam diri manusia, ataupun "wahdat al-wujud" di mana diyakini adanya identitas ontologis antara manusia dan Tuhan, pada dasarnya adalah sama.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS