TAREKAT

Oleh: Prof. Mulyadi Kartanegara
Seperti syariat, Tarekat (thariqah) berarti jalan, hanya saja yang pertama jalan raya (road), maka yang terakhir adalah jalan kecil (path). Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh seorang sufi. Selain tarekat, sering juga digunakan kata "suluk," yang artinya juga perjalanan spiritual, dan orangnya disebut "salik." Tetapi kata tarekat juga dipakai untuk merujuk sebuah keleompok persaudaraan atau ordo spiritual yang biasanya didirikan oleh seorang sufi besar, seperti 'Abd al-Qadir al-Jilani, Sadzili, Jalal al-din Rumi dll. Nama tarekat tersebut biasanya dinisbahkan kepada nama-nama pendirinya, atau julukan yang diberikan oleh para pengikutnya. Karena itu, kita mengenal tarekat Qadiriyyah, Sadziliyyah, atau Mawlawiyyah, yang dinisbahkan kepada julukan "Mawlana" atau guru kami, yang diberikan murid-murid Rumi kepadanya.

Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para sufi atau zahid di sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman yang berbeda-beda. Sekalipun tujuannya sama, yaitu menuju atau mendekati Tuhan atau bersatu dengan-Nya, baik dalam arti majazi atau hakiki, dalam apa yang disebut sebagai kesatuan mistik (ittihad). Meskipun begitu, para ahli sepakat untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini ke dalam stasiun-stasiun (maqamat) dan keadaan-keadaan (ahwal). Perbedaan antara keduanya adalah, sementara maqamat dicapai melalui usaha yang sadar dan sistematis, ahwal adalah keadaan-keadaan jiwa (mental states) yang datang secara spontan, sebagai hadiah dari Tuhan, dan umumnya berlangsung secara realtif cepat dan tidak bertahan lama. 

Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari seorang sufi dalam tarekatnya, intensitas dan kecepatan perjalanannya pun bisa berbeda-beda. Ali Nadwi, misalnya, menggambarkan perjalanan mistik Rumi seperti burung rajawali yang dengan sayapnya yang besar bisa dengan cepat tiba di tangan sang raja, sedangkan perjalanan spiritual Farid al-Din 'Aththar, digambarkan merayap seperti semut. Rumi sendiri, misalnya, mengatakan "seorang sufi bermikraj ke Arasy dalam sekejap, sang zahid memerlukan sebulan untuk sehari perjalanan." 

Selanjutnya, walaupun jalan spiritual itu objektif, dalam arti betul-betul dialami orang-orang suci sepanjang zaman, tetapi pengalaman masing-masing sufi dalam menempuh perjalanan tersebut bersifat subjektif. Dan karena sifat pengalaman mereka subjektif, maka tidak mungkin kita harapkan adanya keseragaman ungkapan atau nama-nama tahapan (maqamat) atau keadaan-keadaan (ahwal) dari semua sufi yang mengalaminya. Oleh karena itu wajar kalau para penulis berbeda, misalnya, dalam menamakan maqam-maqam ataupun urutannya. Al-Kalabadzi, misalnya, menyebut maqam-maqam tersebut sebagai berikut: taubat, zuhud, sabar, faqr, tawaddu', taqwa, tawakkal, ridha, mahabbah, dan makrifat, sementara al-Ghazali: taubat, sabar, faqr, zuhud, tawakkal, ridha, mahabbah, ma'rifat dan ridha, dan al-Qusyairi: taubat, wara', zuhud, tawakkal, sabar dan ridha.

Selain perjalanan itu digambarkan secara datar dan dalam bentuk prosa seperti tersebut di atas, ada juga beberapa sufi yang melukiskan perjalanan spiritual mereka secara simbolis dan dalam bentuk puisi. Farid al-Din 'Aththar, misalnya, menggambarkan perjalan spiritualnya dengan indah dalam karya puitisnya Manthiq al-Thayr sebagai perjalanan panjang yang melelahkan dari burung-burung (yang melambangkan jiwa manusia) dalam rangka menemui raja mereka yang bernama Simurgh. Untuk mencapainya, mereka harus melampaui tujuh lembah: lembah pencarian, cinta, makrifat, perpisahan, persatuan, keheranan, kefakiran dan kehancuran (fana'). Ibn 'Arabi, di tempat lain, melukiskan perjalanan atau pengalaman spiritualnya secara rinci tanpa berusaha memberikan nama pada mereka, tetapi menceriterakannya secara gamblang perjalanan manusia dari tingkat inderawi, menuju tingkat imajinal, dari dunia imaginal menuju dunia murni spiritual. Sekurangnya ada dua puluh tahap perjalanan yang digambarkan Ibn 'Arabi dalam kitabnya Risalat al-Anwar fima Yumnah Shahib al-Halwa min al-Asrar, sebelum akhirnya manusia kembali ke dunia inderawi. 

Apa yang telah kita simak sampai di sini tentang tarekat adalah tarekat dalam dalam arti perjalanan spiritual, yang juga biasa disebut suluk. Tapi ada pengertian lain dari tarekan, yaitu tarekat dalam arti persaudaraan atau ordo spiritual. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih dikenal di kalangan luas dari terma ini, seperti tarekat Naqshbandiyyah, Sanusiyyah, Qadiriyyah, dan sebagainya. Tentu bukan tempatnya dalam bab Muqaddimah ini untuk membahas satu per satu tarekat tersebut, namun satu hal dari tarekat ini yang perlu dikemukakan: metode spiritual dan peranan guru (mursyid). Karena tasawuf pada hakikatnya tidak bisa dipelajari dari buku, maka latihan spiritual dalam bentuk "dzikr" atau "sama' " adalah cara yang efektif untuk memahami tasawuf lewat pengalaman batin. Daripada mengajari murid-muridnya tentang ajaran atau dotrin-doktrin tasawuf, seorang mursyid akan mengajar murid-muridnya untuk melakukan perjalanan spiritual bersama menuju Tuhan dengan cara (metode) yag pernah dialami dan dikuasai oleh sang mursyid sendiri. Dengan begitu sang mursyid berharap bahwa apa yang telah ia alami melalui metode tersebut juga akan dialami murid-muridnya. Metode ini harus dikuti dengan ketat dan disiplin yang tinggi dan dengan ketaatan penuh kepada petunjuk sang mursyid, karena ia yakin bahwa dengan cara itulah maka pengalaman seorang mursyid akan sesuai seperti yang direncanakan..

Dalam proses pembimbingan ini sang murid tidak boleh protes atau membangkang, bahkan dikatakan bahwa sang muris harus bertindak seolah-olah mayat di tangan orang yang memandikannya. Boleh saja membangkan, tapi , kalau begitu, sang mursyid tidak bertanggung jawab atas kegagalan sang murid yang membangkan tadi dalam perjalanan spiritualnya, dan tidak ada jaminan bahwa usahanya itu akan berhasil. Jadi inilah kiranya peranan Mursyid terhadap muridnya, yakni memastikan bahwa segala proseodur metode dijalankan sepenuhnya oleh sang murid. Baru setelah segalanya dijalankan dengan sebaik-baiknya, maka seorang murid boleh berharap sukses dalam usahanya itu.[]

Note: dengan ini maka berakhirlah bab Muqaddimah (Pendahuluan) yang terdiri dari 4 fasal ini, dan selanjutnya kita akan fokus pada bab II, yang khusus membahas tentang Hakikat yang akan dibagai ke dalam 16 fasal, dan dimulai dengan fasal 5 (mengikuti urutan fasal sebelumnya). Terima kasih atas perhatiaannya. Barakallahu fikum ajma'in fi syahri al-ramadhan al-karim. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS