DASAR ISLAMI TASAWUF

Oleh: Prof. Mulyadi Kartanegara
Karena sifatnya yang universal baik dalam ruang maupun waktu, sebuah sistem spiritual, seperti tasawuf, mungkin saja menerima pengaruh dari sistem lain yang ada sebelumnya, seperti juga mungkin saja ia mempengaruhi sistem dan disiplin spiritual yang lain setelahnya. Karena itu kalau tasawuf, sebagai aspek spiritual Islam, dikatakan telah dipengaruhi oleh unsur-unsur mistik atau filosofis yang ada sebelum Islam, seperti mistisisme Kristen, Hindu, atau sistem filsafat Neoplatonisme atau Stoikisme, hal itu boleh-boleh saja. Tetapi itu sekali-kali tidaklah berarti bahwa Islam sendiri sebagai agama tidak cukup untuk memberi basis untuk kehidupan spiritualnya sendiri. Andaikan sistem mistik atau filosofis pra-Islam tidak pernah ada, maka saya yakin bahwa mistisisme Islam atau tasawuf ini akan tetap tumbuh, karena spiritualitas ini pada hakikatnya merupakan kebutuhan esensial manusia, kapan saja dan di mana saja. Dan itulah sebabnya mistisisme dengan segala variasi dan kesamaannya bisa tumbuh dalam tradisi dan bangsa manapun di dunia ini. Demikianlah, maka Islam telah memberikan beberapa basis bagi sistem spiritualnya sendiri yang kita sebut tasawut.

Sebagai sebuah sistem spiritual, tasawuf tentu mempunyai basis filosofis, di atas mana seluruh bangunan spiritualnya didirikan. Basis filosofis tersebut tidak lain daripada basis atau prinsip bagi seluruh yang ada di dunia ini, yaitu Tuhan. Tuhan adalah basis ontologis bagi segala sesuatu yang tanpa-Nya, segala yang ada ini akan kehilangan pijakannya. Para sufi menyebut prinsip ini sebagai Kebenaran (al-Haqq). Disebut al-Haqq karena Dialah satu-satunya yang ada dalam arti kata yang sesungguhnya, yang mutlak, sementara yang lain bersifat nisbi dan alegoris (majazi). 

Para sufi menggambarkan Tuhan sebagai peinsip yang menyeluruh dan palipurna. Dari sudut pandang waktu, Dia adalah yang Awal dan yang Akhir, dalam arti Dialah asal dan tempat kembali dari segala yang ada. Dari sudut ruang, Dia adalah yang Lahir dan yang Batin, dengan kata lain, yang imanen dan yang transenden. Dan konsep Tuhan yang palipurna ini sepenuhnya didasarkan pada ayat al-Qur'an, tepatnya surat al-Hadid ayat 3 yang berbunyi: "Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin." 

Esensi dari sebuah sistem mistisisme adalah perasaan dekat dengan Tuhan. Dan perasaan dekat ini dinyatakan dalam perasaan seorang sufi akan kehadiran Tuhan di manapun ia berada. Kehadiran Tuhan ia rasakan baik dalam dirinya maupun alam yang mengelilinginya. Tentang kedekatan dan kehadiran Tuhan di mana-mana ini, para sufi mendapatkan basis-basisnya dalam al-Qur'an sendiri. Surat al-Baqarah ayat 186 menyatakan bahwa Tuhan amat dekat dengan hamba-Nya, dan bahwa Ia akan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya apabila mereka betul-betul menyatakan doa mereka. Sementara ayat lain (115) dari surat yang sama menyatakan bahwa kemana saja kita berpaling di sana ada wajah Tuhan, dan itu karena Ia memiliki dan meliputi alam semesta, timur dan baratnya dunia. Ibarat matahari yang karena ketinggian dan kebesarannya bisa dilihat di mana saja tanpa mengharuskan kegandaan atau kebinekaan dalam jaumlah. Bahkan surat Qaf ayat 16 menunjukkan bahwa Tuhannlebih dekat kepada manusia daripada nadi lehernya sendiri. Karena itu dikatakan bahwa Tuhan mengetahui bahkan apa yang hanya dibisikkan dalam hati manusia. 

Dikisahkan bahwa Abu al-Hasan al-Nuri, seorang sufi abad sembilan Masehi, dibawa ke pengadilan atas tuduhan bahwa ia telah berkata, "tadi malam aku telah berduaan saja dengan Tuhan di rumahku." Ketika dimintai keterangan atas peristiwa tersebut, ia membenarkan bahwa pernyataan itu berasal darinya, dan ia mencoba membela pernyataannya itu dengan mengutip ayat, "Dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia) daripada nadi lehernya sendiri," seraya mengatakan bahwa bahkan pada saat ini dan di sini,mia sedang berada dengan Tuhan, sebagaimana halnya orang-orang yang hadir di pengadilan tersebut. 

Selain kesemestaan Tuhan dan perasaan dekat atau kehadiran-Nya, al-Qur'an juga memiliki ayat-ayat lain yang dijadikan basis konseptual sufi tentang cinta (mahabbah atau 'isyq). Surat Ali 'Imran ayat 30, misalnya, secara hipotetik menyatakan kemungkinan terjadinya cinta timbal balik antara Tuhan dan hamba-Nya. "Katakanlah! Jika engkau mencintai Tuhan, maka ikutilah aku (Nabi), niscaya Allah akan mencintaimu." Pada masa al-Nuri hidup (abad 9M.) menyatakan bahwa seseorang mencintai Tuhan dan Tuhan mencintainya dianggap sebagai skandal dan telah merendahkan martabat-Nya, karena telah mengandaikan Tuhan sama derajatnya dengan hamba. Ketika al-Nuri dimintai keterangan tentang pernyataannya bahwa ia mencintai Tuhan dan Tuhan mencintainya, maka ia berkata bahwa pernyataannya itu tidak lain daripada pengulangan dari pernyataan Tuhan sendiri bahwa "akan datang suatu kaum yang Tuhan cintai dan mereka mencintai-Nya" (surat al-Ma'idah, ayat 54).

Di samping al-Qur'an, hadis-hadis Nabi juga memberi basis yang sama-sama kuatnya terhadap konsep-konsep tertentu para sufi. Hadis yang menyatakan "Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya" telah diambil oleh para sufi sebagai basis bagi konsep makrifat, yakni, seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari sumbernya sendiri. Hadis tersebut telah dijadikan sebagai basis teoritis bagi sebuah modus pengetahuan yang berbeda dari modus pengetahuan biasa, yakni apa yang dikenal dengan "ilmu hudhuri." Demikian juga hadis qudsi yang menyatakan Tuhan sebagai "harta pusaka yang terpendam" (al-kanz al-makhfiy) telah dijadikan basis bagi konsep tajalliyat Tuhan, di mana diyakini bahwa alam semesta merupakan manifestasi (tajalliyat) sifat-sifat Tuhan sendiri, dan punya hubungan eksistensial dengan-Nya.

Kiranya dengan ini dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat al-Qur'an dan hadis-hadis tersebut telah menjadi indikasi yang memadai tentang adanya basis Islami bagi konsep-konsep dasar dan fundamental para sufi yang telah membentuk secara permanen spiritualitas Islam yang kita sebut tasawuf atau mistisisme Islam ini.[] 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS