Hukum Mempelajari Filsafat

Oleh: Mulyadhi Kartanegara

Mahasiswa: apa hukum mempelajari filsafat? 
MK: seperti sering kita dengan bahwa filsafat memang bukan sembarang ilmu, tetapi ilmu yang tinggi yang mungkin tidak semua orang dapat mengerti. Karena itu, menurut Ikhwan al-Shafa hukum mempelajarinya adalah makruh bagi orang kebanyakan (awam). Tetapi bagi orang tertent (khusus) yang sungguh-sungguh ingin mengerti filsafat dan punya kapasitas intelektual dan spiritual yang cukup, maka hukumnya sunnah, bahkan sampai teraf tertentu, seperti dikatakan Ibn Rusyd adalah wajib.
Alasannya adalah Allah menyuruh umat manusia untuk memikirkan ciptaan Allah dengan serius dan sistematis, sebagai upaya untuk mengenal-Nya. Tetapi upaya untuk memahami ciptaan dengan sistematis dan teliti, hanya bisa dilakukan melalui metode logik-rasional yang dipelajari dan dilakukan oleh para filosof dan ilmuwan. Dengan demikian, mempelajari filsafat dan metode berfikir, yang disebut logika, menjadi perlu, sebagai syarat untuk bisa mempelajari ciptaan Allah dengan benar dan bermanfaat. 

Sering dikatakan bahwa pemikiran filsafat bersifat radikal. Radikal berasal dari kata radix, artinya akar. Maksudnya adalah pemikiran filosofis ini berkenaan dengan akar, yakni akar permasalahan. Ia tidak bergerak dipermukaan, tetapi menelusup ke bagian dalam, mencari akar dari sebuah masalah yang sedang dibicarakan. Akar selalu berada didalam tanah, jadi tak nampak pada indera kita, tetapi kita juga tahu, akarlah yang menjadi sebab munculnya batang tubuh, kemudian cabang, ranting dan buah. Tanpa akar, maka tak mungkin akan ada pohon. Pemikiran filsafat tentu saja berawal pada apa yang nampak, yang biasa disebut fenomena, tapi ia tidak berhenti di sana, melainkan masuk ke dalam untuk mencari realitas (makna, menurut Rumi, atau noumena, dalam bahasa Kant).

Kita memang terbiasa dengan yang nampak ke indera kita, dan tak biasa dengan memikirkan realitas yang terdalam yang tersembunyi di balik fenomena tersebut. Inilah salah satu sebab mengapa pemikiran filosofis kadang terkesan sulit, tak bisa ditembus oleh orang kebanyakan (awam). Tetapi dengan melakukan aktifitas seperti itu, filsafat tidak hendak bermain-main, atau melakukan akrobat intelektual, melainkan hendak dengan serius mencari realitas atau kebenaran. Filosof percaya bahwa di balik apa yang kita lihat (baca: fenomena) ada realitas atau makna. Rumi mengatakan bahwa apa yang nampak pada pandangan kita, hanyalah bentuk. Tetapi di balik setiap bentuk tersimpan makna (realitas), bahkan ia percaya bahwa bentuk itu tercipta demi makna. Rumi berkata: "berapa lama lagi engkau akan bercinta dengan jambangan. Jangan berhenti di sana, pergilah melampaui bentuk luar jambangan. Tapi carilah air, karena jambangan tidak dicipta kecuali untuk menyimpan air." Jangan berhenti pada buih, tapi carilah laut dalam yang tersembunyi di balik buih. Jangan hanya berkata, "aku melihat debu yang beterbangan," karena debu tidak akan beterbangan kecuali diterbangkan oleh angin. Anginlah sang penggerak, sang pelaku, sekalipun ia tak terlihat oleh mata. Jangan berhenti pada kulit kerang itu, tapi masuklah ke dalamnya untuk temukan mutiara, karena nilai dari kerang terletak pada mutiaranya, sekalipun mutiara itu tidak dapat dilihat mata."

Selain bersifat radikal, filsafat juga bersifat rasional. Rasional tentu saja dikaitkan dengan kata ratio atau "reason," penalaran atau akal. Maka dikatakan bahwa filsafat adalah penelitian rasional (akliah) terhadap yang ada (mawjudat/existents) baik yang fisik maupun non-fisik atau metafisik (apa yang ada di balik fisik). Namun karakteristik pemikiran rasional ada pada logika, yaitu ilmu atau kaidah berfikir yang benar, sehingga dikatakan bahwa pemikiran filsafat bersifat logis. Namun, operasi pemikiran logika tertetak apa ada yang disebut silogisme--sebuah upaya untuk menarik kesimpulan (konklusi) dari beberapa premis (premis mayor dan minor) melalui sebuah terma yang ada di antara keduanya, yang disebut middle term (al-hadd al-awsath). Tujuan utama operasi logika adalah mengetahui yang belum diketahui (al-majhul) dari yang sudah kita ketahui (al-ma'lum). Karena itu juga saya pernah menyebut dalam salah satu buku saya, bahwa pemikiran rasiona atau logis bersifat inferensial.

Tetapi dalam tradisi ilmiah Islam, filsafat tidak bisa dikaitkan secara eksklusif hanya pada akal. Ia juga dikaitkan pada sumber yang lain seperti indera, hati (intuisi) dan bahkan wahyu. Adalah signifikan (bermaksa) bahwa para filosof Muslim mengidentifikasi filsafat, selain dengan falsafah (dari kata Yunani philosophos), juga dengan hikmah, seperti yang tercermin dari istilah hikmat al-isyraq untuk menyebut sistim filsafat Suhrawardi (w. 1191), atau al-hikmah al-muta'aliyah, untuk sistem filsafat Mulla Shadra (w. 1641). Sekali filsafat diidentifikasi dengan hikmah, maka filsafat tidak akan bisa hanya urusan rasio saja. Karena sumber hikmah bukan hanya akal, juga yang lain, termasuk intuisi dan wahyu. Dipercayai bahwa selain kitab, Tuhan juga, menurut al-Qur'an, memberikan hikmah, dan mengatakan, "barangsiapa diberi hikamah, maka sesungguhnya ia diberikan kebaikan yang banyak." Contoh ideal ahli filsafat (hikmah) adalah Luqman, yang diberi gelar al-Hakim, sang filosof. Oleh karena itu, maka dalam tradisi ilmiah Islam, filsafat tidak bisa "exclusively rational" dan tidak bisa dipisahkan dari intuisi dan wahyu. Mulla Shadra, pernah menyatakan bahwa sumber filsafatnya adalah burhan, irfan dan Qur'an, dengan kata lain akal, hati (intuisi) dan wahyu (kitab suci). Dengan demikian filsafat Islam meliputi sebuah sistem pemikiran yang kompleks, yang melibatkan berbagai potensi yang ada pada diri manusia, dan telah menghasilkan sebuah sistem filosofis yang unik, yang telah melahirkan berbagai mazhab yang distingtif, seperti Peripatetik, Illuminationis, 'irfani, dan Hikmah Muta'aliyyah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS