MANUSIA: TUJUAN AKHIR PENCIPTAAN

Oleh: Prof. Mulyadi Kartanegara

Yang paling menonjol dari pandangan para Sufi tentang manusia adalah dijadikannya manusia sebagai tujuan akhir penciptaan alam semesta. Tentu saja pandangan ini didasarkan pada otoritas sebuah hadis Qudsi yang mengatakan, "lawlaka walawlaka ma khalaqtul-a'lam kullaha," yang artinya, "Kalau bukan karena engkau (ya Muhammad), takkan Kuciptakan alam semesta." Engkau dalam hadis di atas tentu saja Nabi Muhammad, tetapi Nabi di sini ditafsirkan oleh para sufi sebagia simbol manusia sempurna (al-insan al-kamil), yaitu bentuk manusia yang telah mencapai kesempurnaannya, yakni ketika ia telah mengaktualkan seluruh potensi kemanusiaannya.

Pandangan seperti itu telah dianut oleh beberapa sufi terkenal seperti Ibn 'Arabi (w. 1240), Shadr al-Din al-Qunawi (w. 1274), Jalal al-Din Rumi dan 'Abd al-Karim al-Jili. Untuk mendeskripsikan bagaimana menusia telah menjadi tujuan akhir penciptaan alam, Rumi menganalogikan manusia dengan buah. Walaupun buah itu tumbuh setelah akar, batang, cabang dan ranting, tapi keseluruhan pohon justru tumbuh untuk menghasilkan buah tersebut. "Kalau bukan karena mengharap buah tersebut," tanya Rumi, "betapa seorang petani kan menanam pohon?" Sesungguhnya seorang petani menanam pohon agar dapat memperoleh buah dari pohon tersebut. Karena sebuah pohon tanpa buah adalah pohon yang sia-sia, sebagaimana analog yang dibuat Nabi ketika menggambarkan kesia-siaan ilmu tanpa amal.

Oleh karena itu, manusia mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam pandangan para sufi, baik dalam kaitannya dengan alam, maupun dengan Tuhannya. Dalam kaitannya dengan alam, manusia adalah buah atau hasil akhir evolusi biologis alam. Ia seperti dinyatakan dalam hadis di atas merupakan reason d'etre dari penciptaan alam, atau tujuan akhir penciptaan alam. Sebagai buah alam, manusia mengandung di dalamnya seluruh unsur alam semesta, sebagaimana buah mengandung seluruh unsur pohon, dari mulai akar, batang, cabang, dahan dan ranting. Oleh karena itu, manusia dikatakan sebagai mikrokosmos. Lebih dari itu, menurut Rumi, manusia, ketika telah mencapai tujuan penciptaannya, ia bukan lagi mikrokosmos, tapi makrokosmos sendiri. Sebagai hasil evolusi terakhir, manusia adalah yang terbaik dari segi bentuk, fungsi dan kompleksitasnya, atau dalam bahasa Qur'an disebut "ahsan al-taqwim." 

Kalau manusia mengandung seluruh unsur yang ada di bawah dunia manusia--mineral, tumbuhan, dan hewan--maka manusia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki mereka, yaitu akal atau intelek. Akal atau intelek, ini tidak dimiliki oleh mereka, karena sesungguhnya intelek itu merupakan unsur malaikat, sehingga dengan dikaruniai intelek, maka terkandung juga di dalam diri manusia unsur malaikat. Dengan begitu maka komplitlah manusia sebagai mikrokosmos. Lebih dari itu, di dalam diri manusia juga terkandung unsur ilahi, karena manusia dikaruniai ruh yang ditiupkan Allah kepada manusia, seperti disebutkan dalam al-Qur'an, "wanafakhtu min ruhi."

Sedangkan dalam kaitannya dengan Tuhan, manusia adalah wakil-Nya di muka bumi (khalifatullah fil-ardh), yang sangat dimulyakan-Nya. Sebagai khalifah, tugas manusia antara lain adalah menyampaikan berita dari dunia ghaib agar dapat dipahami dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh umat manusia. Tetapi karena tidak semua pada prakteknya bisa menerima "pesan ilahi" ini, maka Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul-Nya untuk membawa kabar tersebut. Rumi berkata: "Ketika kebun-kebun mawar telah musnah, kemanakah kita mencari semerbak mawar?" jawabnya pada "air mawar." Yang dimaksud Rumi adalah, ketika Tuhan yang ghaib tidak bisa kita lihat, maka melalui para Nabi dan Rasullah pesan dan berita dari-Nya dapat kita peroleh. Oleh karena itu, para Nabi dan Rasul, yang berpuncak pada Nabi Muhammad, adalah contoh-contoh par excellence dari manusia paripurna. Mereka inilah yang sesungguhnya patut dijadikan sebagai tujuan akhir penciptaan alam. Ketika para Nabi tidak diturunkan lagi setelah "penutup para Nabi dan Rasul", yaitu Muhammad, maka peran tersebut diteruskan oleh para awliya (wali-wali) Allah, baikmitu para sahabat, al-muqarrabin,mdan para sufi.

Adapun bentuk nyata dari pemuliaan Tuhan kepada manusia adalah tanggung jawab-Nya untuk menciptakan segala sarana dan prasarana yang dibutuhkan bukan hanya untuk memungkinkan manusia hidup tetapi juga untuk menjalankan tugasnya sebagai wakil atau khalifah-Nya di muka bumi. Secara praktis, Tuhan telah menciptakan segala apa yang ada di muka bumi ini untuk manusia, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab suci-Nya, "huwalladzi ja'ala lakum ma fil-ardhi jami'a," agar segala rencana Tuhan dalam menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya bisa terlakana.

Sebagai catatan akhir perlu diisampaikan di sini bahwa hadits yang dikutip di atas, telah dijadikan basis ajaran Hakikat Muhammadiyyah atau ada juga yang menyebutnya Nur Muhammadiyyah, yang mengatakan bahwa yang pertama dicipta, sebelum alam alam semesta, adalah Muhammad saw., karena konsekwensi dari hadis yang mengatakan, "kalau bukan karena engkau yang Muhammad, tidak akan Kuciptakan alam semesta, adalah bahwa Muhammad pastilah sudah ada sebelum alam semesta ada atau dicipta. Tentu saja yanag dimaksud bukanlah Nabi Muhammad yang lahir di Mekkah, tetapi "hakikat" Muhammad yang telah ada jauh sebelum alam diciptakan, bahkan lebih dari itu sering dikatakan bahwa seluruh alam semesta ini dicipta dari hakikat atau nur Muhammad ini. Wallahu a'alam. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khutbah Jumat; Menepati Janji

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

SYAIR ABU NAWAS