Khutbah Jumat; Menumbuhkan Keyakinan dalam beribadah

Di dalam Al-Qur'an, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَٱعْبُد ربك حتي ياتيك اليقين

"Sembahlah Allah, beribadahlah kepada Allah, taatlah kepada Allah, lakukan perintah-perintah Allah."

Hatta sehingga timbul dalam dirimu keyakinan bahwa Allah itu memang layak untuk kamu sembah. Jadi, kalau selama ini kita menyembah kepada Allah belum timbul rasa keyakinan kita bahwa Allah itu memang Tuhan kita, berarti ibadah kita selama ini belum sempurna. Berarti ketaatan kita selama ini belum sempurna.

Kalau kita lihat di dalam ibadah kita, di dalam salat kita, kita selalu mengucapkan kalimat di dalam surah Al-Fatihah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

"Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan." (QS. Al-Fatihah: 5)

Ini bukan hanya ungkapan tetapi pengakuan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Wahai Tuhanku, hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan. Dua pernyataan ini harus sinkron, harus saling mendukung. Kalau kita meyakini bahwa Tuhan tempat kita menyembah, kita harus yakin juga dalam aktivitas kita sehari-hari bahwa Allahlah yang akan membantu kehidupan kita, yang akan memuluskan segala rencana kita, yang akan memberikan kemudahan dalam melakukan segala aktivitas.

Jika ini sinkron antara "إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ", maka inilah yang disebut dengan 'Abdullah yakni hamba Allah yang taat kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Tetapi jika kedua ini bertolak belakang, pada saat di momen-momen tertentu kita menyebut "إِيَّاكَ نَعْبُدُ" hanya kepada-Mu aku menyembah Ya Allah, di mana itu momennya mungkin kita laksanakan itu di masjid, mungkin pada saat kita mengadakan pengajian-pengajian, mungkin pada saat kita lagi butuh kepada Allah subhanahu wa ta'ala, tetapi dalam praktiknya terkadang "نَسْتَعِينُ" kita minta pertolongan kepada yang lain. Ini menandakan belum paripurnanya, belum sempurnanya "نَعْبُدُ" kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala.

Sehingga keyakinan kita terhadap Allah, Tuhan yang berhak kita sembah, itu belum sempurna. Sehingga ada ulama menyebutkan bagaimana menimbulkan atau memunculkan keyakinan dalam hati kita bahwa Allah subhanahu wa ta'ala itu memang Allah yang berhak kita sembah. Disebutkan di dalam kitab:

Yang pertama, setidaknya jika engkau ingin menumbuhkan rasa keyakinanmu kepada Allah subhanahu wa ta'ala, mantapkan tauhid di dalam dirimu. Mantapkan keesaan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Allah bukan hanya tempat kita menyembah, Allah bukan hanya tempat kita mengadu, tetapi kita harus meyakini bahwa Allahlah yang mengatur segala kehidupan kita. Tarikan nafas kita itu tidak lepas dari aturan yang Allah berikan. Ayunan tangan kita, apapun posisi kita saat ini, profesi apa kita saat ini, di manaun kedudukan kita saat ini, itu semua adalah campur tangan dari Allah subhanahu wa ta'ala. Allah bukan hanya tempat kita menyembah tetapi Allahlah yang mengatur dalam kehidupan kita ini. Inilah yang disebut dengan tauhid, keyakinan tauhid.

Keyakinan yang disebutkan:

لا يرى شيئاً كلّها إلا من الله

Dia tidak melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini, tidak ada segala sesuatu yang bergerak yang ada di sekelilingnya, kecuali itu adalah campur tangan dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Orang yang semacam ini jika keyakinannya sudah mencapai ke posisi ini maka sifat-sifat keburukan yang ada di dalam dirinya akan hilang. Disebutkan dalam sebuah kisah sahabat Anas bin Malik, pembantunya Rasulullah ﷺ. Dia menceritakan:

"Saya menjadi khadamnya Rasulullah ﷺ kurang lebih 10 tahun. Selama saya menjadi pembantunya, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Rasulullah ﷺ kepada saya yang bersifat mencela, mencaci maki, merendahkan, atau menyalahkan."

Padahal kalau kita lihat bagaimana posisi seorang atasan dengan bawahan, biasanya dengan mudahnya lisan kita berkata yang tidak pantas kepada orang yang ada di bawah kita, apalagi status ekonominya, status sosialnya rendah di bawah kita. Ini Rasulullah ﷺ mencontohkan, kata Anas bin Malik, selama 10 tahun saya hidup bersama Rasulullah, menjadi pembantunya, menjadi bawahannya, Rasulullah tidak ada satu kata pun yang menyalahkan saya. Ini menandakan bahwa Rasulullah ﷺ mencontohkan kepada kita bahwa tidak ada segala sesuatu yang terjadi di dunia ini kecuali itu memang sudah takdir dari Allah, sudah ada campur tangan dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Kenapa? Karena Rasulullah ﷺ tidak pernah melihat sebab. Kalau kita memiliki bawahan, memiliki pembantu, memiliki pelayan dalam kehidupan ini, kita akan senang jika dia melakukan apa yang kita sukai dan kita akan marah dan mencela jika dia melakukan sesuatu yang tidak kita senangi. Kenapa kita bisa melakukan hal semacam itu? Karena kita melihat sebab. Sebab dia melakukan sesuatu sehingga kita mencelahinya, sebab dia melakukan sesuatu sehingga kita memuji. Ya, ini kita terdinding dengan bahwa tidak ada yang bisa menyebabkan sebab itu kecuali musabbibnya yakni Allah subhanahu wa ta'ala.

Orang yang sampai pada keyakinan ini, niscaya segala keburukan-keburukan sifat-sifat keburukan akan hilang dari dalam dirinya.

Kaum Muslimin jemaat Jumat rahimakumullah, sehingga jika orang sudah sampai posisi tauhid, keyakinan tauhid, maka sifat dendam akan hilang di dalam dirinya. Kalau kemarin kita berkontestasi, ada pemilihan A, ada pemilihan B, dia akan menghilangkan segala hal semacam itu karena itu merupakan sebab dari terciptanya seorang pemimpin. Masalah-masalah yang lain semua dia keluarkan, dia hilangkan. Kenapa? Karena itu adalah proses demokrasi sehingga yang tercipta adalah kedamaian dan kerukunan.

Jika sudah mencapai posisi keyakinan tauhid ini tadi, maka hilanglah rasa iri dan dengki. Orang mencapai posisi apapun, kita tidak akan pernah pusing kepala kita. Apapun yang keluar dari komentar orang tidak akan pernah masuk ke dalam hati kita. Karena kita yakin segala sesuatu terjadi karena izin dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Yang ketiga, sifat ujub yang ada di dalam dirinya. Dia tidak akan pernah membanggakan dirinya, dia tidak pernah merasa dirinya paling hebat, dia tidak pernah merasa dirinya paling mulia. Apapun posisinya saat ini, apapun yang ia dapatkan saat ini, berapa banyak harta yang ia dapatkan, berapa pelayan yang dia miliki, atau popularitas yang ia dapatkan, dia akan selalu ingat bahwa itu datangnya dari Allah subhanahu wa ta'ala. Dan kalau Allah akan mengambilnya dalam sekejap pun semuanya akan hilang dan akan sirna. Kita ingat kembali pada saat kita hadir ke dunia ini, tidak ada sehelai kain pun yang kita bawa, tidak ada sedikit pun jabatan yang kita miliki, tidak ada satu rupiah pun yang kita bawa. Dan kita pun akan kembali kepada Allah subhanahu wa ta'ala dalam keadaan tidak membawa apapun.

Oleh sebab itu, jangan sekali-kali kita sombong dalam kehidupan ini, jangan sekali-kali kita ujub merasa diri kita paling mulia. Yang mulia di sisi Allah subhanahu wa ta'ala, karena hakikatnya kita sama. Sesungguhnya disebutkan di dalam Al-Qur'an:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian." (QS. Al-Hujurat: 13)

Dan takwa itu tidak bisa kita nilai dengan kasat mata, tidak bisa kita nilai dengan angka, tidak bisa kita nilai dari materi-materi yang nampak dengan mata kita.

Kaum Muslimin jemaat Jumat rahimakumullah, demikianlah khutbah kita pada kesempatan kali ini. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala selalu membimbing kita, memberikan taufik dan hidayah kepada kita sehingga apapun yang terucap dari lisan kita, apapun yang terpikir dari pemikiran kita, apa yang terbenak dalam hati kita, selalu kita harapkan mendatangkan ridha dari Allah subhanahu wa ta'ala. Aamiin ya rabbal 'alamin.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Singkat KH. Muhammad Bakhiet

Khutbah Jumat; Menepati Janji